Sesungguhnya ada
banyak hadits yang menerangkan bagaimana Rasulullah SAW meluluskan permohonan
dan permintaan orang-orang yang memiliki hajat, serta bagaimana beliau
membebaskan mereka dari kesulitan. Karena Rasulullah SAW adalah wasilah yang
paling utama untuk memohon kepada Allah SWT, baik untuk menolak bencana maupun
untuk tercapainya suatu hajat.
Tidak diragukan
lagi bahwa Kiamat adalah suatu masa yang paling menakutkan dan mengerikan bagi
seluruh manusia. Hari Kiamat adalah masa penantian yang seolah-olah tiada
ujungnya. Pada masa itu panas yang memanggang di tengah kumpulan manusia bak
pasir di lautan, sementara cucuran keringat menggenang melampaui leher.
Dalam keadaan
seperti itu, seluruh manusia akan mencari hamba yang paling disayang Allah
untuk menjadi perantara dalam memohon keringanan penderitaan yang sedang mereka
alami, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
“Ketika
mereka mengalami penderitaan yang hebat itu, maka mereka pun memohon
keselamatan kepada Allah dengan Nabi Adam (sebagai wasilah).”
Dalam hadits di
atas Rasulullah SAW menggunakan kata “istaghatsu” yang berarti memohon
keselamatan. (Demikian redaksi yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari).
Para sahabat pun
memohon pertolongan dan keselamatan kepada Allah dengan menjadikan Rasulullah
SAW sebagai wasilah. Mereka juga meminta syafaat kepada beliau dan mengadukan
banyak hal kepada beliau, seperti kemiskinan, penyakit, bencana, dililit hutang
dan kelemahan fisik yang mereka alami. Bahkan mereka berlindung kepada beliau
ketika menghadapi marabahaya dengan keyakinan bahwa pada hakikatnya beliau itu
tidak lebih dari seorang perantara (wasilah) dalam mendatangkan manfaat
dan menolak mudarat, sedangkan pelaku yang sesungguhnya adalah Allah SWT.
Kisah Abu
Hurairah ra
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam yang lain dari Abu Hurairah ra, bahwa pada suatu
hari beliau mengadu kepada Rasulullah SAW tentang banyaknya hadits Rasulullah
yang terlupakan olehnya, sehingga Abu Hurairah ra meminta agar dibebaskan dari
penyakit lupa yang dialaminya.
Abu Hurairah ra
berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku banyak mendengar sabda-sabdamu, tetapi
aku sering lupa, maka aku ingin sekali untuk tidak lupa.”
Rasulullah SAW
kemudian bersabda, “Bentangkanlah surbanmu!”
Abu Hurairah pun
membentangkan surbannya. Kemudian Rasulullah SAW meraup-raupkan tangannya ke
udara di atas surban itu, kemudian bersabda, “Dekaplah!”
Maka Abu
Hurairah mendekap surban itu dan menempelkannya ke dadanya. Dan berkata Abu
Hurairah, “Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa lagi.”
Jika kita
perhatikan hadits di atas, sebenarnya Abu Hurairah ra telah meminta kepada
Rasulullah SAW sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, yakni
menghilangkan sifat lupa. Lalu, mengapa Rasulullah tidak menolak dan
menghukuminya sebagai perbuatan syirik? Jawabnya adalah karena beliau tahu
bahwa permintaan seseorang kepada orang-orang yang dianggap memiliki keutamaan
di sisi Allah bukanlah permintaan untuk menciptakan sesuatu, dan si pemohon
tidak pula berkeyakinan bahwa mereka itu mampu menciptakan dan berbuat seperti
Allah SWT.
Ia hanya
bermaksud menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah), karena mereka
memiliki keutamaan dan kekuasaan yang telah Allah berikan kepada mereka, baik
dalam bentuk doa maupun kelebihan yang lain yang dikehendaki Allah.
Sebagaimana yang
kita baca dalam hadits di atas, Nabi SAW dalam memenuhi permintaan Abu
Hurairah, tidak disebutkan bahwa beliau mendoakan Abu Hurairah. Beliau hanya
meraup-raupkan tangannya di udara kemudian menumpahkannya ke hamparan surban
Abu Hurairah, dan memintanya supaya mendekap surban tersebut. Abu Hurairah ra
kemudian mendekap surban itu ke dadanya, dan atas karunia Allah, apa yang
dilakukan Nabi SAW itu menjadi sebab terkabulnya permohonan Abu Hurairah ra.
Kisah Qatadah ra
Dalam sebuah
riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Qatadah ra terkena anak panah di
bagian matanya, yang menyebabkan bola matanya keluar dan menggantung di atas
pipinya. Waktu itu para sahabat yang lain bermaksud hendak menolongnya, namun
ditolak oleh Qatadah karena belum mendapat izin dari Rasulullah SAW.
Setelah Qatadah
meminta izin kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak mengizinkan mereka
membantu Qatadah. Justru Rasulullah SAW sendiri yang memegang bola mata Qatadah
dan memasukkannya kembali ke tempat semula, sehingga sembuhlah mata Qatadah,
bahkan lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Kisah ini
diriwayatkan oleh al-Baghawi, Abu Ya’la, al-Daruquthni, Ibnu Sahir dan
al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail. Kisah ini juga dinukil oleh al-Imam
Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah, juz 3 halaman 225, al-Hafizh
al-Haitsami dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 4 halaman 297, dan
al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Khashais al-Qubra.
Kisah
Melenyapkan Bisul
Dari hadits
Muhammad Ibnu Uqbah dari Syurahbil dari kakeknya Abdurrahman, dari bapaknya
yang berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW karena bisul yang ada di telapak
tanganku.
Aku berkata
kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, bisul ini telah menghalangiku dari bertempur di
jalan Allah dan menyakitkanku ketika aku memegang kendali kuda.”
Maka Rasulullah
SAW pun bersabda, “Mendekatlah kepadaku.”
Aku pun
mendekat. Kemudian beliau membuka dan meniup telapak tanganku. Setelah itu
beliau meletakkan tangannya di atas bisul itu sambil menepuk-nepuknya. Maka
pada saat itu juga bisulku lenyap tanpa bekas.”
Kisah ini
diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan dinukil oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’
al-Zawaid, juz 8 halaman 298.
Kisah Muadz ra
Di tengah
berkecamuknya perang Badar, Muadz bin Amr bin al-Jamuh ra mendapatkan tebasan
pedang di pundaknya dari Ikrimah bin Abu Jahal.
Kemudian Muadz
bercerita, “Tebasan pedang itu memutuskan lenganku, namun masih tergantung di
badanku karena ada sedikit kulit yang tidak putus. Maka kuselipkan lenganku itu
di balik punggungku dan aku terus berperang di sepanjang hari itu. Akan tetapi
lama kelamaan gerakanku menjadi terganggu karena keadaan lenganku itu. Maka
kuhentakkan lengan itu hingga menjadi lepas dari tempatnya.”
Setelah itu,
sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Qadhi Iyadh dari Ibnu Wahab dalam
kitab al-Mawahib, Muadz membawa lengannya yang lepas itu kepada
Rasulullah SAW. Beliau kemudian meletakkan tangan yang sudah lepas itu ke
tempatnya semula dan meludahinya. Seketika itu juga lengan Muadz kembali
tersambung seperti sedia kala.
Kisah ini
diriwayatkan oleh al-Zarqani dan disandarkan kepada Ibnu Ishaq, dan di
antaranya sanadnya terdapat al-Hakim.
Meminta Tolong
kepada Nabi SAW untuk Menolak Bencana
Ada banyak
hadits yang menerangkan tawassul pada sahabat dengan Nabi SAW ketika mereka
mengalam musim kemarau yang berkepanjangan. Dan di antaranya adalah sebagai
berikut:
Suatu ketika,
seorang Arab Badui memanggil-manggil Nabi SAW sewaktu beliau menyampaikan
khutbah Jumat.
“Wahai
Rasulullah, telah musnah harta benda kami karena kami tidak berdaya untuk
mencegahnya. Maka berdoalah kepada Allah untuk kami, agar Dia menurunkan
hujan,” kata Arab Badui itu.
Maka Rasulullah
SAW pun berdoa sehingga hujan turun dari langit.
Pada hari Jumat
berikutnya, Arab Badui itu datang lagi dan berkata, “Harta benda kami porak
poranda, rumah kami roboh, hewan ternah kami mati disebabkan oleh derasnya air
hujan, sedangkan kami tidak dapat berbuat apa-apa.”
Maka Rasulullah
SAW pun berdoa sehingga hujan hanya turun di sekitar kota Madinah.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Istisqa’, pada Bab
“Permintaan Rakyat kepada Imam untuk Melaksanakan Shalat Istisqa’ ketika
Terjadi Bencana Kekeringan.”
Abu Dawud juga
meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang baik dari Aisyah ra. Imam Baihaqi
juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dengan
rangkaian sanad yang bersumber dari Anas ra, yang di dalamnya disebutkan bahwa
Arab Badui setelah menyampaikan keluh kesahnya kemudian berkata, “Maka tidak
ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah. Dan hendak
ke mana lagi manusia bergantung kecuali kepada Rasulullah?”
Riwayat mengenai
hadits ini juga dapat dilihat dalam kitab Fath al-Bari, jilid 2 halaman
495.
Perhatikanlah
bagaimana para sahabat secara majazi telah menisbatkan pertolongan dan manfaat
kepada Rasulullah SAW. Demikian pula dengan orang Badui itu sewaktu ia
mengatakan, “Tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai
Rasulullah.” Namun Rasulullah SAW tidak memusyrikkannya, karena penisbatan
kepada Nabi di sini tidaklah bersifat hakiki, melainkan idhafi (relatif).
Mungkin Anda
bertanya, “Apakah tindakan Nabi SAW itu disebabkan beliau tidak mengerti firman
Allah yang memerintahkan agar manusia hanya bergantung kepada Allah SWT?”
Jawabnya, tentu
saja beliau mengerti akan ayat tersebut karena ia diturunkan kepada beliau.
Namun ketahuilah bahwa makna hakiki dari tempat bergantung yang diharapkan
dapat menolong dan memberi manfaat, hanyalah Allah SWT dan para Rasul-Nya,
bukan yang lain selain Allah dan para Rasul-Nya itu.
Mengapa para
Rasul itu dikatakan termasuk sebagai tempat bergantung? Karena mereka adalah
kelompok pertama yang dapat dijadikan sebagai perantara (wasilah) kepada
Allah SWT. Mereka juga merupakan kelompok yang doanya paling didengar oleh
Allah dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan hajat umatnya.
Itulah sebabnya
mengapa Rasulullah SAW begitu terkesan dengan ucapan si Arab Badui dalam kisah
di atas, hingga beliau bersegera memenuhi harapannya dengan berdoa kepada Allah
SWT. Beliau tidak lagi menunda harapan Arab Badui itu hingga Allah
mengabulkannya.
Semoga shalawat
dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. (J. Rinaldi)