Selasa, 30 Desember 2014

Kedudukan Sahabat Nabi

Sahabat Nabi Saw sesuai dengan kedudukannya terbagi ke dalam dua kelompok, tapi tidak mengurangi statusnya sebagai sahabat.Sama-sama sahabat, tapi status keauliaannya berbeda-beda. Contoh, Khulafaur Rasyidin dan 'Asyarah al Kiram. Lalu, sahabat-sahabat yang hanya bergaul secara lahir dengan Rasul Saw saja dan mendapat pengetahuan dari Rasul Saw.

Tapi yang perlu diketahui, mengapa maqamat sahabat kedudukannya sangat tinggi sekali, karena kadar imannya tidak bisa ditakar dengan takar iman kita semua. Kalau kita sekarang mengetahui Nabi, setelah kita membaca hadits Nabi Saw, atau kisah para sahabat, sedangkan kalau sahabat tidak, sahabat langsung bertemu dengan Rasulullah Saw. Para sahabat waktu itu memegang peranan penting sebagai al 'Ulama. Mereka semua adalah da'i ilallah, mengajak umat ke jalan Allah Swt. Tugas mereka masuk ke luar kampung dengan membawa nilai-nilai dan misi kerahmatan. Mereka tidak mengajarkan Islam dengan kekerasan. Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan kekerasan, tapi dakwah dengan santun.

Jadi itu di antara peranan sahabat. Para sahabat berbeda dengan auliya', walaupun para sahabat selain berstatus sebagai sahabat juga sebagai auliya'. Para sahabat termasuk auliya', juga termasuk ulama. Mengapa pada waktu sahabat aqthab-nya tidak dibuka sebagaimana zaman tabi'in, karamah-karamah dan sebagainya. Lebih banyak cerita-cerita karamahnya auliya' daripada karamah para sahabat? Sebab pada zaman Rasulullah, tidak perlu itu, karena keimanan mereka yang langsung diterima dari Rasulullah Saw, menjadi satu jaminan mutu bagi keimanan mereka yang tidak membutuhkan penguat lain.

Agak mendekati keimanan para sahabat adalah mereka golongan tabi'in yang hidup menjumpai sahabat. Jaminannya bagi keimanan mereka apa? Karena mereka langsung mengetahui sahabat. Walaupun mereka tidak bisa melihat Rasulullah Saw, mereka sudah bercermin terhadap para sahabat. Mereka menyadari kedudukan sahabat saja begitu hebat dan luar biasa, perilaku sahabat sudah begitu hebatnya, apalagi Rasulullah Saw, tidak bisa diukur. Maka tidak perlu ada karamah yang macam-macam, ini dan itu. Tapi setelah tabi'in perlu. Apa sebab? Sebab perlu adanya karamah, sebagaimana karamah Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Imam Syadzili, Syaikh Ahmad al Badawi, Syaikh Ibrahim al Dasuki, Syaikh Baha'uddin Naqsyabandi, Syaikh Muhammad al Faqih al Muqaddam bin Ali, dan ulama-ulama lainnya yang selevel dengan mereka, adalah untuk mengangkat martabat umat dan menjadi syafa'at bagi orang awam. Al Karamat untuk menolong tabi'in dalam memperkuat keimanan orang-orang awam di zaman mereka. 

Contoh, kalau orang membaca kalam al Qur'an, ayat-ayat yang menceritakan bagaimana karamat Ashif bin Barkhiya, bagaimana cerita Luqman al Hakim, bagaimana cerita Ashhab al Kahfi, bagaimana cerita Nabi Khidir As, yang bisa menghidupkan orang mati, pada masa Nabi orang tidak heran dengan kisah-kisah yang ada dalam al Qur'an itu. Lain halnya ketika umat semakin jauh dari masa kenabian, bertanya-tanya tentang kebenaran kisah-kisah itu. Mereka bertanya-tanya apa benar kisah-kisah dalam al Qur'an itu, hanya fiktif ataukah legenda belaka. 
 
 Munculnya karamat-karamat di tengah-tengah ulama besar, seperti Syaikh Abdul Qadir al Jailani untuk mengangkat kepercayaan mereka supaya lebih tebal terhadap mukjizat Rasulullah Saw, atau apa yang disebutkan dalam al Qur'an. Maka lahirlah karamah-karamah itu, seperti Syaikh Abdul Qadir al Jailani bisa menghidupkan orang mati dengan karamatnya. Akhirnya orang-orang awam akan berkata apa? Mukjizat Nabi Isa As benar. Syaikh Abdul Qadir al Jailani saja bisa, apalagi Nabi Isa As. Orang awam akan semakin tebal, kuat, semakin percaya, seperti di zaman auliya' yang sekarang, zaman Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih, dan beberapa ulama besar di Hadhramaut. Seperti Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al Aththas dan tokoh-tokoh lainnya seperti Habib Umar bin Thaha Indramayu itu disebut sebagai khatim al auliya', penutup para wali. Karena apa disebut khatim al auliya'? Karena Habib Umar bin Thaha melahirkan para ulama dan hidup pada tahun-tahun terakhir abad itu (Abad ke-18).

Tujuan dari karamah-karamah para ulama yang saya sebut terakhir itu untuk menunjukkan mukjizat-mukjizatnya para anbiya' yang terdahulu dan menunjukkan karamat-karamatnya Syaikh Abdul Qadir al Jailani yang terkemudian dari masa kenabian. Seandainya ada orang yang tidak percaya dengan karamatnya Syaikh Abdul Qadir al Jailani, dia mengatakan untuk jangan berlebih-lebihan terhadap Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sebab itu bisa dijadikan kultus. Akhirnya dijawab oleh para wali-wali yang sekarang. Wali-wali yang sekarang pun bisa mendapat karamat dari Allah Ta'ala dengan menghidupan orang mati. Orang yang tadi menyepelekan Syaikh Abdul Qadir al Jailani mengakui: ah, benar. Ternyata wali zaman sekarang saja mempunya karamat seperti itu, berarti Syaikh Abdul Qadir al Jailani benar. Kalau Syaikh Abdul Qadir al Jailani benar, berarti al Qur'an benar. Akhirnya karamat-karamat itu membawa, menolong, dan menguatkan keyakinan orang awam. Dan keyakinan orang awam dan kepercayaannya terhadap al Qur'an dan apa yang terkandung di dalamnya akan menjadi lebih tebal.


0 komentar:

Posting Komentar