Jakarta, Aswaja Center Klaten
Untuk mengatasi beragam masalah kebangsaan seperti kemiskinan,
bencana alam, korupsi, konflik dan kekerasan, Indonesia perlu
mengembangkan gerakan kepemimpinan yang bertumpu pada nilai-nilai etis
dan kerendahhatian (tawadlu). Cita-cita ini mesti menjadi sebuah gerakan
bersama yang dimulai dari para pemimpin, di tingkat lokal hingga
nasional.
“Kepemimpinan etis itu ukurannya kepatutan, moralitas umum, dan
kemaslahatan bersama, bukan sekedar hukum formal dan pencitraan di
media,” tandas Inayah Wahid, puteri keempat sekaligus Panitia 5 Tahun
Wafatnya KH. Abdurrahman Wahid di Jakarta, Jumat (21/12).
Kepemimpinan etis dan tawadlu ini yang sengaja diangkat dalam
kegiatan 5 Tahun Wafatnya KH. Abdurrahman Wahid. “Selama ini kita sering
disuguhkan tontonan tingkah pemimpin, di tingkat nasional maupun daerah
yang memamerkan kemewahan dan tindakan yang bertolak belakang antara
perkataan dan perbuatan. Ada pemimpin yang kekayaannya menumpuk di
tengah hidup warganya yang menghadapi busung lapar,” Inayah memberi
alasan.
Jika tujuan dasar pemimpin adalah memenuhi kepentingan umat, jelas
Inayah, maka seorang pemimpin harus betul-betul mengerti dan peka
terhadap apa yang dirasakan umat yang dipimpinnya. Jika sebagian besar
umat masih menghadapi masalah kesulitan ekonomi, maka kepemimpinan etis
tidak akan memamerkan kemewahan dan kekayaan, meski memang sebetulnya
memiliki cukup kekayaan. Ini bukti bahwa ia mengerti betul yang
dirasakan umat yang dipimpinnya.
“Menurut kami sekeluarga, tema kepemimpinan etis dan tawadlu ini
penting untuk dimunculkan tahun ini karena pergantian kepemimpinan di
Indonesia. Ini pengingat bagi para pemimpin agar dalam kepemimpinannya
mereka tawadlu kepada kepentingan umat. Kepentingan umatlah yang utama.
Bukan kepentingan diri sendiri atau kelompok,” tandasnya.
Karena yang dipegang adalah nilai-nilai etis, maka pemimpin tipe ini
tidak akan hanya melihat sebuah masalah dari sisi formalitas hukum.
Apalagi hukum di negeri ini mudah dibelokan. Dengan pegangan nilai-nilai
etis itu, lanjut Inayah, seorang pemimpin akan berani mengambil resiko
dan terobosan agar nilai-nilai etis bisa dicapai.
Menurut Koordinator Positive Movement ini, itulah pelajaran yang ia
ambil dari sikap dan perjuangan sang ayahanda yang melakukan beberapa
terobosan ketika menjadi Presiden. Misalnya, mencabut larangan perayaan
Imlek bagi etnis Tionghoa, mengembalikan nama dari Irian Barat menjadi
Papua, meminta pengampunan bagi buruh migran yang dihukum mati,
menandatangani UU pengadilan HAM, dan lain-lain. Gus Dur, demikian
sapaan akrabnya, selalu mengutip kaidah “Kebijakan pemimpin terhadap
rakyatnya, bergantung pada kemaslahatan atau kesejahteraan”.
“Dalam mengambil kebijakan, Gus Dur berusaha mengutamakan kepntingan
rakyat ketimbang kelompok. Bahkan ketika kepentingan kelompok
berbenturan dengan kepentingan masyarakat, beliau memilih melaksanakan
kepentingan masyarakat luas, daripada kelompoknya. Inilah yang kami
harapkan dapat diadopsi oleh pemerintahan yang baru ini,” tambahnya.
Menurut Inayah, visi kepemimpinan semacam ini bisa menjadi gerakan
kuat jika dibarengi dengan upaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru.
Tidak hanya terbatas di pemerintahan dan politik, tapi di semua bidang
kehidupan dan mulai dari tingkat yang paling kecil, termasuk diri
pribadi. “Dan ini sangat strategis jika ditopang lewat pendidikan di
berbagai level, formal maupun informal, termasuk pendidikan di dalam
keluarga.”
Tahun ini, tradisi tahunan keluarga mantan Presiden RI ke-4 itu akan
digelar Sabtu (27/12) malam, di rumah keluarga besar KH Abdurrahman
Wahid, Ciganjur, Jakarta Selatan. Selain pembacaan tahlil oleh pengasuh
Pesantren Al-Aziziyah Denanyar Jombang, Jawa Timur KH. Azis Masyhuri,
acara tersebut juga akan diisi testimoni tentang kehidupan Presiden ke-4
RI tersebut. Di antaranya penampilan dari pelawak Mohamad Syakirun
alias Kirun dan penulis Presiden Gus Dur Untold Stories, Priyo Sambadha. Sementara taushiyah, ceramah agama akan dibawakan Si Celurit Emas dari Madura: KH. Dzawawi Imron.
Acara akan dimeriahkan pula dengan tarian sufi, pertunjukan lukisan
bayangan pasir oleh seniman asal bandung Ja'far Fauzan, dan pembacaan
puisi Arab yang dibuat khusus KH. Husein Muhammad, murid Gus Dur yang
juga mantan komisioner Komnas Perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar