Perkenankan untuk mengingatkan kembali kepada suatu rumusan yang
dapat kita sebut bersama sebagai “Traktat Peradaban Islam”. Secara
sederhana traktat dapat diartikan: risalah, acuan, atau metode
penanganan masalah. Peradaban Islam dapat diartikan: kemajuan kualitas
hidup masyarakat yang dinamis baik secara lahir maupun batin, material
maupun non-material.
Prinsip-prinsip dari “Traktat” ini telah dikemukakan oleh KH.
Abdurrahman Wahid pada tahun 1970an. “Traktat” dapat ditelusuri kembali
pada dua dokumen penting yang berjudul “Universalisme Islam dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam” dan “Kebangkitan Kembali Peradaban
Islam: Adakah Ia?” yang sekarang dapat dibaca dalam buku Islam Kosmopolitan (2007).
“Traktat” disusun kembali dalam bentuk aforisma-aforisma yang
disarikan dari dua dokumen tersebut. Pengertian aforisma adalah sebuah
pernyataan yang padat dan ringkas.
Pertama: Peradaban Islam yang baru berdiri diatas pijakan kuat
universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam. Peradaban ini akan
membentang dari Asia Tenggara hingga ke Marokko, yang berdampingan
dengan peradaban Sinetik dan Peradaban Indik.
Kedua: Universalisme Islam adalah perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam bidang hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid) dan etika (akhlaq) yang merupakan fondasi kepedulian atas kemanusiaan (al-insaniyyah).
Ketiga: Ajaran hukum fiqh memberi jaminan dasar kepada masyarakat, yang meliputi: (a) hifdzun nafs, yakni perlindungan keselamatan fisik semua masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum; (b) hifzud din, yakni perlindungan keyakinan agama masing-masing; (c) hifdzun nasl, yakni perlindungan keluarga dan keturunan; (d) hifdzul mal,
yakni perlindungan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari
gangguan atau pernggusuran di luar prosedur hokum; (e) hifdzul ‘aql,
yakni perlindungan keselamatan hak milik dan profesi. Pemerintah yang
adil harus menjamin keselamatan atas dasar jaminan-jaminan tersebut.
Keempat: Ajaran tauhid menegakkan penghargaan kepada perbedaan
pendapat dan perbedaan keyakinan. Kenyataan adanya perbedaan adalah
peluang uji coba untuk menajamkan kebenaran agama masing-masing
keyakinan dan dengan demikian merupakan proses untuk membuktikan
keampuhan konsep keimanan sendiri. Walhasil, pencapaian kebenaran
keyakinan dapat berlangsung melalui proses dialektis.
Kelima: Ajaran etika mengharuskan kepedulian atas kemanusiaan yang
diimbangi dengan keterbukaan yang arif terhadap wawasan kultural dan
keilmuan dari masyarakat dan peradaban yang lain. Saling menerima dan
memberi serta saling pengaruh-mempengaruhi adalah kenyataan yang wajar
dalam kehidupan.
Keenam: Watak kosmopolitanisme Islam tampak sejak awal pemunculannya
ketika Nabi Muhammad SAW melakukan pengorganisasi sosial di Madinah
hingga pada abad ke-3 hijriyah yang ditandai oleh saling serap
antarperadaban-peradaban yang ada. Kosmopolitanisme Islam muncul dalam
bentuk: hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya,
heterogenitas politik, adanya dialog yang bebas, dan kehidupan beragama
yang eklektik.
Ketujuh: Kosmopolitanisme Islam terwujud nyata bila semua masyarakat
bersikap kreatif, inovatif dan berinisitif untuk mencari wawasan terjauh
dari keharusan berpegang pada kebenaran. Tasawuf, filsafat, ilmu
pengetahuan, fiqh dan teknologi merupakan aktivitas kreatif yang
mendukung terwujudnya kosmopolitanisme.
Kedelapan: Kosmopolitanisme Islam tercapai secara optimal bila
tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan
kebebasan berpikir semua masyarakat, termasuk mereka yang non-muslim.
Menjadi tugas para pemikir, budayawan dan negarawan untuk mengusahakan
optimalisasi tersebut dengan menjamin persamaan hak dan mewujudkan
keadilan.
Kesembilan: Agenda baru dibutuhkan untuk menampilkan universalisme
Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam, agar kaum muslim mampu ambil
bagian dalam kebangunan peradaban manusia di masa pasca-industri.
Kesepuluh: Agenda baru universalisasi ajaran Islam diarahkan untuk
kegunaan umat manusia secara keseluruhan, mencakup kebutuhan akan
toleransi, keterbukaan sikap, dan kepedulian yang penuh kearifan
terhadap keterbelakangan, belenggu kebodohan dan kemiskinan yang
menyelimuti kehidupan mayoritas muslim dewasa ini.
Kesebelas: Kebutuhan akan kosmopolitanisme baru dengan sendirinya
akan muncul melalui proses universalisasi Islam. Kosmopolitanisme baru
ini membentuk sikap kerjasama semesta untuk membebaskan manusia dari
ketidakadilan struktur social-ekonomi dan kebiadaban rejim-rejim yang dzalim.
Keduabelas: Hanya dengan menampilkan universalisme baru dan
kosmopolitanisme baru, kaum muslim akan mampu menciptakan solidaritas
sosial dan jiwa transformatif untuk memperbaiki nasib sendiri dan warga
masyarakat yang lain. Dengan demikian suatu peradaban Islam yang baru
dapat dirintis.
Ketigabelas: Suatu peradaban ditandai oleh kemajuan material maupun
non-material yang mencakup kesejahteraan sosial, ilmu pengetahuan dan
teknologi, karya-karya kesusasteraan, kedokteran, arsitektur dan
lainnya, serta yang tak kalah penting adalah keluhuran hidup spiritual.
Kebangunan baru peradaban Islam akan terwujud bila dilandasi oleh suatu
jenis wawasan kemanusiaan yang lebih relevan dengan kebutuhan universal
dari kehidupan umat manusia di kemudian hari.
Keempatbelas: Peradaban Islam akan terwujud lewat kemampuan meramu
keluhuran hidup yang dinamis dan berkeseimbangan dari
peradaban-peradaban yang ada sekarang. Kemampuan ini menuntut: (a)
menerapkan dan menafsirkan kembali secara kreatif penemuan-penemuan
sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia; (b) merumuskan kembali arti
Islam bagi kehidupan yang berubah cepat dan beraneka tantangan dan
kemungkinan.
M.H. Nurul Huda, Jamaah Gusdurian tinggal di Depok
Sumber: NU Online
0 komentar:
Posting Komentar