Penjelasan Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari tentang Maulid Nabi yang Disunnahkan Ulama

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. telah menjadi kebiasaan umat Islam, salah satunya dalam dilingkungan warga Nahdlatul Ulama yang ada di Indonesia. Pendiri NU, Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari dalam fatwanya menjelaskan mengenai rambu-rambu peringatan...

Taushiyah Maulid Nabi Saw Habib Jindan

Medan, Aswaja Center Klaten NU Online mengabarkan: Habib Jindan bin Novel bin Jindan dari Jakarta menyampaikan taushiyah Maulid Nabi dalam acara istighosah yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Utara. Habib menjelaskan...

Kedudukan Sahabat Nabi

Sahabat Nabi Saw sesuai dengan kedudukannya terbagi ke dalam dua kelompok, tapi tidak mengurangi statusnya sebagai sahabat.Sama-sama sahabat, tapi status keauliaannya berbeda-beda. Contoh, Khulafaur Rasyidin dan 'Asyarah al Kiram. Lalu, sahabat-sahabat yang...

Terjemah Kitab Al Umm

Kitab Al Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para penganut madzhab Syafi'i di Indonesia yang merupakan madzhab terbesar. Kitab ini mencakup pembahasan yang luas dalam bidang fiqih dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi...

Dalil Kebolehan Menyelenggarakan Maulid Nabi Muhammad Saw

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia Islam, kaum Muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran...

Senin, 09 Februari 2015

Keistimewaan Abdurrahman bin 'Auf ra


Jika Rasulullah SAW pernah mengumumkan ada sepuluh sahabat yang dijanjikan bakal masuk surga, maka nama Abdurrahman bin ‘Auf termasuk di dalamnya. Nabi menyebut namanya di sela-sela nama para sahabat agung yang lain, tak terkecuali empat pengganti Rasulullah (al-khulafaur rasyidun).

Saat kabar atau hadits itu sampai di telinga Abdurrahman bin ‘Auf, dadanya tak latas membusung. Ia justru gemetar takut. Suasana batin semacam ini berlangsung terus-menerus hingga ia memberanikan diri menemui Rasulullah.

Abdurrahman bin ‘Auf sendiri adalah kerabat Nabi. Silsilah keturunan mereka berdua bertemu di generasi keenam ke atas, yakni Kilab bin Murrah. Namun demikian, kedekatan hubungan darah tak serta-merta mengurangi sikap takzim Abdurrahman kepada Sang Utusan Allah.

Abdurrahman bin ‘Auf masih terus terngiang  dengan perkataan Rasulullah ketika akan berjumpa dengan sumber ucapan itu.  Kerendahan hatinya lah yang membuat hatinya diliputi kecemasan lantaran kabar yang mengistimewakan dirinya di antara para sahabat ternama itu.

“Allah telah memberimu hutang yang indah, yang membebaskan kedua kakimu,” tutur Rasulullah sebagaimana tercatat dalam kitab At-Thabaqatul Kubra karya Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani.

Melalui Nabi, Jibril lantas memberinya pesan anjuran kepada Abdurrahman bin ‘Auf untuk senantiasa memuliakan tamu, memberi makan kaum miskin, dan membantu orang-orang yang butuh pertolongan. “Jika semua perbuatan ini dilakukan maka lunas lah hutang-hutang tersebut.”

Abdurrahman bin ‘Auf sejak awal terkenal sebagai orang yang super dermawan. Ia pernah menyedekahkan 700 rahilah, yang mayoritas untuk para faqir dan miskin. Rahilah adalah jenis unta tunggangan yang harganya lebih mahal dari unta biasa. Abdurrahman memberikannya beserta barang bawaan dan pelana berikut alasnya.

Di mata Rasulullah, Abdurrahman istimewa salah satunya karena kepedulian sahabat as-sabiqunal awwalun (golongan orang pertama masuk Islam) ini terhadap masyarakat lemah. Hatinya tetap lapang meski harta bendanya banyak didermakan untuk kepentingan itu.

Suatu kali Rasulullah pernah dari arah belakang mengalungkan serban dan menutupi kedua bahu Abdurrahman bin ‘Auf. “Inilah hamba yang shalih,” lisan Nabi yang lembut melontarkan pujian.

Abdurrahman bin ‘Auf merupakan orang dengan ketawadukan yang luar biasa. Karenanya, berita bahagia yang mengistimewakan dirinya pun direspon dengan rasa khawatir. Bukan tak percaya atau tak suka. Baginya, di hadapan Tuhan dirinya tak ada apa-apanya. Karakter ini seolah menjadi tamparan keras bagi orang atau kelompok yang merasa paling benar dan mulia meski tanpa jaminan surga.

Al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 32 hijriyah dan disemayamkan di Baqi’, Madinah, dekat dengan makam Rasulullah SAW.

Rabu, 04 Februari 2015

Meminta Tolong dan Menyampaikan Harapan Melalui Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya ada banyak hadits yang menerangkan bagaimana Rasulullah SAW meluluskan permohonan dan permintaan orang-orang yang memiliki hajat, serta bagaimana beliau membebaskan mereka dari kesulitan. Karena Rasulullah SAW adalah wasilah yang paling utama untuk memohon kepada Allah SWT, baik untuk menolak bencana maupun untuk tercapainya suatu hajat.

Tidak diragukan lagi bahwa Kiamat adalah suatu masa yang paling menakutkan dan mengerikan bagi seluruh manusia. Hari Kiamat adalah masa penantian yang seolah-olah tiada ujungnya. Pada masa itu panas yang memanggang di tengah kumpulan manusia bak pasir di lautan, sementara cucuran keringat menggenang melampaui leher.


Dalam keadaan seperti itu, seluruh manusia akan mencari hamba yang paling disayang Allah untuk menjadi perantara dalam memohon keringanan penderitaan yang sedang mereka alami, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:


“Ketika mereka mengalami penderitaan yang hebat itu, maka mereka pun memohon keselamatan kepada Allah dengan Nabi Adam (sebagai wasilah).”


Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menggunakan kata “istaghatsu” yang berarti memohon keselamatan. (Demikian redaksi yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari).


Para sahabat pun memohon pertolongan dan keselamatan kepada Allah dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah. Mereka juga meminta syafaat kepada beliau dan mengadukan banyak hal kepada beliau, seperti kemiskinan, penyakit, bencana, dililit hutang dan kelemahan fisik yang mereka alami. Bahkan mereka berlindung kepada beliau ketika menghadapi marabahaya dengan keyakinan bahwa pada hakikatnya beliau itu tidak lebih dari seorang perantara (wasilah) dalam mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, sedangkan pelaku yang sesungguhnya adalah Allah SWT.


Kisah Abu Hurairah ra

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam yang lain dari Abu Hurairah ra, bahwa pada suatu hari beliau mengadu kepada Rasulullah SAW tentang banyaknya hadits Rasulullah yang terlupakan olehnya, sehingga Abu Hurairah ra meminta agar dibebaskan dari penyakit lupa yang dialaminya.


Abu Hurairah ra berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku banyak mendengar sabda-sabdamu, tetapi aku sering lupa, maka aku ingin sekali untuk tidak lupa.”
Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Bentangkanlah surbanmu!”


Abu Hurairah pun membentangkan surbannya. Kemudian Rasulullah SAW meraup-raupkan tangannya ke udara di atas surban itu, kemudian bersabda, “Dekaplah!”
Maka Abu Hurairah mendekap surban itu dan menempelkannya ke dadanya. Dan berkata Abu Hurairah, “Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa lagi.”
Jika kita perhatikan hadits di atas, sebenarnya Abu Hurairah ra telah meminta kepada Rasulullah SAW sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, yakni menghilangkan sifat lupa. Lalu, mengapa Rasulullah tidak menolak dan menghukuminya sebagai perbuatan syirik? Jawabnya adalah karena beliau tahu bahwa permintaan seseorang kepada orang-orang yang dianggap memiliki keutamaan di sisi Allah bukanlah permintaan untuk menciptakan sesuatu, dan si pemohon tidak pula berkeyakinan bahwa mereka itu mampu menciptakan dan berbuat seperti Allah SWT.


Ia hanya bermaksud menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah), karena mereka memiliki keutamaan dan kekuasaan yang telah Allah berikan kepada mereka, baik dalam bentuk doa maupun kelebihan yang lain yang dikehendaki Allah.

Sebagaimana yang kita baca dalam hadits di atas, Nabi SAW dalam memenuhi permintaan Abu Hurairah, tidak disebutkan bahwa beliau mendoakan Abu Hurairah. Beliau hanya meraup-raupkan tangannya di udara kemudian menumpahkannya ke hamparan surban Abu Hurairah, dan memintanya supaya mendekap surban tersebut. Abu Hurairah ra kemudian mendekap surban itu ke dadanya, dan atas karunia Allah, apa yang dilakukan Nabi SAW itu menjadi sebab terkabulnya permohonan Abu Hurairah ra.


Kisah Qatadah ra

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Qatadah ra terkena anak panah di bagian matanya, yang menyebabkan bola matanya keluar dan menggantung di atas pipinya. Waktu itu para sahabat yang lain bermaksud hendak menolongnya, namun ditolak oleh Qatadah karena belum mendapat izin dari Rasulullah SAW.


Setelah Qatadah meminta izin kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak mengizinkan mereka membantu Qatadah. Justru Rasulullah SAW sendiri yang memegang bola mata Qatadah dan memasukkannya kembali ke tempat semula, sehingga sembuhlah mata Qatadah, bahkan lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baghawi, Abu Ya’la, al-Daruquthni, Ibnu Sahir dan al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail. Kisah ini juga dinukil oleh al-Imam Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah, juz 3 halaman 225, al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 4 halaman 297, dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Khashais al-Qubra.


Kisah Melenyapkan Bisul

Dari hadits Muhammad Ibnu Uqbah dari Syurahbil dari kakeknya Abdurrahman, dari bapaknya yang berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW karena bisul yang ada di telapak tanganku.
Aku berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, bisul ini telah menghalangiku dari bertempur di jalan Allah dan menyakitkanku ketika aku memegang kendali kuda.”
Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Mendekatlah kepadaku.”
Aku pun mendekat. Kemudian beliau membuka dan meniup telapak tanganku. Setelah itu beliau meletakkan tangannya di atas bisul itu sambil menepuk-nepuknya. Maka pada saat itu juga bisulku lenyap tanpa bekas.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan dinukil oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, juz 8 halaman 298.


Kisah Muadz ra
Di tengah berkecamuknya perang Badar, Muadz bin Amr bin al-Jamuh ra mendapatkan tebasan pedang di pundaknya dari Ikrimah bin Abu Jahal.
Kemudian Muadz bercerita, “Tebasan pedang itu memutuskan lenganku, namun masih tergantung di badanku karena ada sedikit kulit yang tidak putus. Maka kuselipkan lenganku itu di balik punggungku dan aku terus berperang di sepanjang hari itu. Akan tetapi lama kelamaan gerakanku menjadi terganggu karena keadaan lenganku itu. Maka kuhentakkan lengan itu hingga menjadi lepas dari tempatnya.”
Setelah itu, sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Qadhi Iyadh dari Ibnu Wahab dalam kitab al-Mawahib, Muadz membawa lengannya yang lepas itu kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian meletakkan tangan yang sudah lepas itu ke tempatnya semula dan meludahinya. Seketika itu juga lengan Muadz kembali tersambung seperti sedia kala.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Zarqani dan disandarkan kepada Ibnu Ishaq, dan di antaranya sanadnya terdapat al-Hakim.


Meminta Tolong kepada Nabi SAW untuk Menolak Bencana
 Ada banyak hadits yang menerangkan tawassul pada sahabat dengan Nabi SAW ketika mereka mengalam musim kemarau yang berkepanjangan. Dan di antaranya adalah sebagai berikut:
Suatu ketika, seorang Arab Badui memanggil-manggil Nabi SAW sewaktu beliau menyampaikan khutbah Jumat.
“Wahai Rasulullah, telah musnah harta benda kami karena kami tidak berdaya untuk mencegahnya. Maka berdoalah kepada Allah untuk kami, agar Dia menurunkan hujan,” kata Arab Badui itu.
Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan turun dari langit.
Pada hari Jumat berikutnya, Arab Badui itu datang lagi dan berkata, “Harta benda kami porak poranda, rumah kami roboh, hewan ternah kami mati disebabkan oleh derasnya air hujan, sedangkan kami tidak dapat berbuat apa-apa.”
Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan hanya turun di sekitar kota Madinah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Istisqa’, pada Bab “Permintaan Rakyat kepada Imam untuk Melaksanakan Shalat Istisqa’ ketika Terjadi Bencana Kekeringan.”
Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang baik dari Aisyah ra. Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dengan rangkaian sanad yang bersumber dari Anas ra, yang di dalamnya disebutkan bahwa Arab Badui setelah menyampaikan keluh kesahnya kemudian berkata, “Maka tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah. Dan hendak ke mana lagi manusia bergantung kecuali kepada Rasulullah?”
Riwayat mengenai hadits ini juga dapat dilihat dalam kitab Fath al-Bari, jilid 2 halaman 495.


Perhatikanlah bagaimana para sahabat secara majazi telah menisbatkan pertolongan dan manfaat kepada Rasulullah SAW. Demikian pula dengan orang Badui itu sewaktu ia mengatakan, “Tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah.” Namun Rasulullah SAW tidak memusyrikkannya, karena penisbatan kepada Nabi di sini tidaklah bersifat hakiki, melainkan idhafi (relatif).


Mungkin Anda bertanya, “Apakah tindakan Nabi SAW itu disebabkan beliau tidak mengerti firman Allah yang memerintahkan agar manusia hanya bergantung kepada Allah SWT?”


Jawabnya, tentu saja beliau mengerti akan ayat tersebut karena ia diturunkan kepada beliau. Namun ketahuilah bahwa makna hakiki dari tempat bergantung yang diharapkan dapat menolong dan memberi manfaat, hanyalah Allah SWT dan para Rasul-Nya, bukan yang lain selain Allah dan para Rasul-Nya itu.
Mengapa para Rasul itu dikatakan termasuk sebagai tempat bergantung? Karena mereka adalah kelompok pertama yang dapat dijadikan sebagai perantara (wasilah) kepada Allah SWT. Mereka juga merupakan kelompok yang doanya paling didengar oleh Allah dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan hajat umatnya.
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW begitu terkesan dengan ucapan si Arab Badui dalam kisah di atas, hingga beliau bersegera memenuhi harapannya dengan berdoa kepada Allah SWT. Beliau tidak lagi menunda harapan Arab Badui itu hingga Allah mengabulkannya.


Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. (J. Rinaldi)