Penjelasan Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari tentang Maulid Nabi yang Disunnahkan Ulama

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. telah menjadi kebiasaan umat Islam, salah satunya dalam dilingkungan warga Nahdlatul Ulama yang ada di Indonesia. Pendiri NU, Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari dalam fatwanya menjelaskan mengenai rambu-rambu peringatan...

Taushiyah Maulid Nabi Saw Habib Jindan

Medan, Aswaja Center Klaten NU Online mengabarkan: Habib Jindan bin Novel bin Jindan dari Jakarta menyampaikan taushiyah Maulid Nabi dalam acara istighosah yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Utara. Habib menjelaskan...

Kedudukan Sahabat Nabi

Sahabat Nabi Saw sesuai dengan kedudukannya terbagi ke dalam dua kelompok, tapi tidak mengurangi statusnya sebagai sahabat.Sama-sama sahabat, tapi status keauliaannya berbeda-beda. Contoh, Khulafaur Rasyidin dan 'Asyarah al Kiram. Lalu, sahabat-sahabat yang...

Terjemah Kitab Al Umm

Kitab Al Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para penganut madzhab Syafi'i di Indonesia yang merupakan madzhab terbesar. Kitab ini mencakup pembahasan yang luas dalam bidang fiqih dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi...

Dalil Kebolehan Menyelenggarakan Maulid Nabi Muhammad Saw

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia Islam, kaum Muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran...

Minggu, 11 Januari 2015

Pengertian Bid’ah Menurut Syara’


Sebelumnya di blog ini sudah dibahas pengertian bid'ah secara bahasa. Jika Anda belum membacanya, silakan baca di sini

Lalu, bagaiamana pengertian bid’ah menurut syara’? Sebelum pembahasan ini bergerak lebih jauh sampai ke sana, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa pengertian bid’ah menurut syari’at Islam tidaklah disebutkan baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Hal ini lumrah saja karena al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidaklah ditujukan untuk membuat pengertian/definisi atau ta’rif dari berbagai hal. Yang membuat pengertian bid’ah adalah para ulama setelah memperhatikan al-Qur’an, al-Hadits, Atsar para sahabat, dan lain-lain. Itulah sebabnya nanti kita akan temukan beragam pengertian bid’ah dari para ulama.
Secara umum dan sederhana bisa dikatakan bahwa bid’ah menurut syara’ adalah sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun untuk lebih jelasnya perihal ini mari kita simak penjelasan para ulama tentang bid’ah:
a. Al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah
Beliau adalah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i. Tatkala menjelaskan pengertian bid’ah, beliau berkata:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. [1]
Menurut pengertian yang diberikan oleh al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah ini, seluruh perbuatan atau amaliah keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik. Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu Mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amaliah baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.
Mari kita simak penjelasan al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah tentang pembagian bid’ah ini serta contoh-contoh yang beliau sampaikan:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ اِلَى: بِدْعَةٍِ وَاجِبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُحَرَّمَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَنْدُوْبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَكْرُوْهَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُبَاحَةٍِ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلاِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌُ 
Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Bid’ah terbagi lima: bid’ah wajibah (bid’ah wajib), bid’ah muharramah (bid’ah haram), bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah (bid’ah makruh), dan bid’ah mubahah (bid’ah mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu dengan membandingkan bid’ah pada kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah itu masuk ke dalam kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk ke dalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharramah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat, maka menjadi bid’ah mandubah. Dan apabila masuk ke dalam kaidah mubah, maka menjadi bid’ah mubahah.”
Saat memberikan contoh-contoh yang termasuk ke dalam lima macam bid’ah tersebut, beliau berkata:
وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌُ: اَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ وَاجِبٌ ِلأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ. الْمِثَالُ الثَّانِيْ: الْكَلاَمُ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا مَذْهَبُ اْلقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلاَءِ مٍنَ اْلبِدَعِ الْوَاجِبَةِ 
وَلِلْبِدَاعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ اِحْسَانٍِ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ. وَلِلْبِدَاعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامِ
Artinya: “Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu Nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu Nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah. Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya adalah shalat tarawih. Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi Mushhaf al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” [2]
b. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah
Beliau adalah seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Syafi’i yang telah menghasilkan banyak karya yang hingga saat ini masih dikaji di dunia Islam. Beliau memberi pengertian bid’ah sebagai berikut:
هِيَ إِحْدَاثُ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” [3]
Selain memberikan pengertian bid’ah, beliau pun menjelaskan bahwa bid’ah itu terbagi ke dalam dua bagian. Beliau berkata:
هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌُ إِلَى حَسَنَةٍِ وَقَبِيْحَةٍِ
Artinya: “Bid’ah terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”[4]


[1] Lihat: Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172.
[2] Penjelasan ini bisa dibaca dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133.
[3] Lihat: Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22.
[4] Lihat: Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22.

Jumat, 09 Januari 2015

Besok Malam! Dengarkan Live Streaming Majelis Sholawat dan Rotib Al Haddad dari Klaten


Klaten, Aswaja Center Klaten
Seolah enggan kalah dengan daerah lain, masyarakat Kabupaten Klaten pun menyiapkan beragam acara spesial di bulan Rabiul Awwal atau lazim dikenal dengan bulan Maulud. Salah satu acara dimaksud akan dilaksanakan di Gaten, Desa Mayungan, Kecamatan Ngawen, Klaten. 
Bertempat di serambi Masjid Ar Rohman masyarakat setempat akan menyelenggarakan pembacaan maulid yang diiringi grup Hadroh Misbahush Shudur. Anggota grup hadroh tersebut merupakan Remaja Masjid Ar Rohman.  Setelah pembacaan maulid, acara dilanjutkan dengan tausiah yang akan disampaikan oleh Ustadz John Rinaldi dan penampilan dari santri TPA Masjid Masjid Ar Rohman.  Berdasarkan keterangan panitia, acara akan dilaksanakan tanggal 10 Januari 2015 ba’da shalat Isya.

Selain dengan hadir di Gaten, Anda dapat menyimak majelis tersebut melalui live audio streaming di audio aswajacenter.  Acara juga rencananya akan direlay melalui radio Aswaja NU Magetan (RANUM) 96.6 FM.

Di waktu yang bersamaan, masyarakat Desa Jonggrangan menyiapkan majelis dzikir Rotib Al Haddad. Acara ini bertempat di Kantor PKB Klaten, belakang Pom Bensin Jonggrangan. Majelis ini akan dipimpin oleh KH.Sumarsam Abdullah Muntala dari karanganyar dan diramaikan oleh grup Hadrah Al-Husna dari Jonggrangan.  Berdasarkan penuturan panitia, majelis dzikir ini rencana akan menjadi agenda rutin.

Seperti majelis di Dusun Gaten, majelis Rotib Al Haddad di Desa Jonggrangan juga dapat Anda simak melalui chanel Ngaji Yuk. Apabila berhalangan, Anda juga dapat mengunduh kajian di dua majelis di atas dalam versi MP3 di link yang insyaallah akan di-upload oleh Tim Aswaja IT Developer melalui beberapa media. (Raden Pekik)
 
Sumber: muslimedianews.com

Selasa, 06 Januari 2015

Pengertian dan Asal Mula Kata "Tahlilan"


Dewasa ini sebagian orang ada yang merasa alergi ketika mendengar kata tahlilan. Setiap kata itu disebut di depannya, maka yang hadir di benaknya adalah bahwa itu perbuatan bid’ah yang haram untuk dilakukan. Ketika diminta untuk menyampaikan dalil pengharamannya, maka ia akan menjawab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya dan tahlilan merupakan ajaran agama Hindu yang diadopsi dan dimasukkan ke dalam Islam. Benarkah pendapat yang demikian itu? Untuk menjawabnya, mari kita simak uraian demi uraian di blog ini dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjernihkan hati kita sehingga kita bisa memahaminya dengan baik.

Kalau kita membuka kamus-kamus bahasa Arab, misalnya al-Mu’jam al-Wasith, al-Munawwir dan sebagainya, akan kita temukan bahwa tahlilan itu berasal dari kata dalam bahasa Arab, yakni: هَلَّلَ - يُهَلِّلُ - تَهْلِيلاًَ - أَيْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ yang artinya membaca kalimat tauhid laa ilaaha illallaah. Kalimat tauhid adalah kalimat persaksian yang menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala, dan ia termasuk ke dalam salah satu bentuk dzikir kepada Allah, bahkan dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai dzikir yang paling afdhal. 

Simaklah hadits berikut ini:

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Sebaik-baik dzikir adalah laa ilaaha illallaah” (HR Imam Tirmidzi dari Jabir bin Abdullah ra).


Selain berdasarkan pada hadits di atas kata tahlil juga termaktub pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya:

‏إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلاَئِكَةً ‏سَيَّارَةً ‏‏فُضُلاًَ ‏يَتَتَبَّعُوْنَ ‏مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوْا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوْا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي اْلأَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ


Artinya: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi memiliki sejumlah malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis dzikir tersebut, maka mereka terus duduk di situ dengan menyelimutkan sayap sesama mereka hingga memenuhi ruang antara mereka dan langit yang paling bawah. Apabila mejelis dzikir itu telah usai, maka mereka juga berpisah dan naik ke langit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan sabdanya, “Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala bertanya kepada mereka, Dzat Yang Maha Tahu tentang mereka, “Kalian datang dari mana?” Mereka menjawab, “Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu di bumi yang selalu bertasbih, bertakbir, bertahlil dan bertahmid…” (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah ra).

Perhatikanlah hadits di atas. Di dalamnya disebutkan kalimat wayuhalliluunaka (mereka bertahlil kepada-Mu), yakni mereka bersama-sama mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah. Dengan menyimak asal mula kata tahlilan yang berasal dari kata tahlil yakni mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, maka dapat dikatakan bahwa tahlil itu sudah dikenal dan sudah ada sejak Islam ada. Bahkan seseorang yang hendak menganut agama Islam, maka kalimat pertama yang harus diucapkannya adalah dua kalimat syahadat, yang satu di antaranya adalah kalimat tahlil. (Abiza)

Arti "Bid'ah" Secara Bahasa


Untuk memahami arti bid’ah secara bahasa, mari kita simak terlebih dahulu beberapa arti kata “bid’ah” yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab populer: 
  1. Dalam kamus al-Muhith, Juz III hal. 3 disebutkan bahwa bid’ah adalah:
 اَلاْمَرْ ُالَّذِيْ يَكُوْنُ أَوَّلاًَ (Sesuatu barang yang pertama adanya).
2.      Dalam kamus Mukhtarus Shihah, hal. 379 disebutkan bahwa bid’ah adalah:
 اِخْتَرَعَهُ لاَ عَلَى مِثَالٍِ (Mengadakan sesuatu tidak menurut contoh).
3.      Dalam kamus al-Mu’tamad, hal. 28 disebutkan bid’ah adalah:
 اِخْتَرَعَهُ وَاَنْشَأَهُ لاَ عَلَى مِثَالٍِ (Diciptakan tanpa contoh).
4.      Dalam kamus al-Munjid,hal. 27 disebutkan bid’ah adalah:
 مَاأُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍٍ (Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya).
Dari beberapa penjelasan kamus di atas, dapat dipahami bahwa bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.(Abiza)

Minggu, 04 Januari 2015

Mereka yang Berjasa Atas Diri Rasulullah Saw Saat Beliau Masih Kecil


Perjalanan hidup Nabi Muhammad sewaktu kanak-kanak tidak semanis buah kurma atau madu. Dalam Shahih Sirah Nabawiyah karya Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury diterangkan, saat dalam kandungan ibunya,  Aminah, Nabi sudah ditinggal ayahnya.

Ketika wafat ayah Nabi, Abdullah, meninggal dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Darun Nabighah al-Ja'dy. Abdullah meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan seorang budak wanita, Barakah berjuluk Ummu Aiman. Kelak dialah yang mengasuh Rasulullah. (Sahih Muslim/II/1392).

Rasulullah dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim, di Mekkah pada awal tahun ketika peristiwa penyerangan tentara Gajah terjadi. Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada Abdul Muthallib ayah Abdullah, kakek Rasulullah, untuk menyampaikan kabar gembira tersebut. Abdul Muthallib datang penuh kegembiraan. Lalu dia masuk ke dalam Ka'bah berdoa kepada Allah seraya bersyukur kepada-Nya. Kemudian dia memilih "Muhammad" untuk beliau.

Tsuwaibah
Satu di antara tradisi bangsa Arab saat itu adalah menyusukan anak-anaknya kepada wanita lain dengan tujuan menjauhkan anaknya dari penyakit-penyakit yang ada, dan juga agar jasmani anak kuat.

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibunya adalah Tsuwaibah, salah seorang hamba sahaya Abu Lahab, pada hari ketujuh kelahiran Rasulullah Saw. Sebelumnya, Tsuwaibah juga wanita yang menyusui Hamzah bin Abdul Muthallib, setelah itu Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

Halimah binti Abu Duaib
Tatkala mengajak Muhammad kecil ke Bani Sa'ad, Abdul Muthallib menyusukan beliau kepada salah seorang wanita dari bani Sa'ad nin bakar, yaitu Halimah binti Abu Duaib Abdullah bin al-Harits. Selain menyusui Rasulullah, Halimah juga menyusui Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib putra paman Rasulullah Saw.

Selama menyusui Muhammad kecil, keluarga Halimah terus-menerus mendapat keberkahan dan tambahan rezeki. Setelah dua tahun, ia pun menyapihnya dan beliau tumbuh dengan baik, memiliki tubuh yang kokoh dan kuat, tidak seperti anak-anak yang lainnya.

Kemudian Halimah  membawanya kepada Aminah, meskipun sebenarnya ia berharap Muhammad kecil dapat menerap bersamanya sebab betapa banyak keberkahan yang
bawakan oleh Rasulullah.

Meninggalnya Ibunda
Masih dalam keterangannya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, kejadian pembelahan dada yang dilakukan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah membuat Halimah khawatir sehingga dia mengembalikan kepada ibunya, maka Rasulullah Saw hidup bersama ibunya sampai berusia enam tahun.

Aminah merasa perlu untuk mengenang suaminya telah wafat, maka bersama putranya, yakni Muhammad disertai pembantu wanitanya Ummu Aiman, berziarah ke makam suaminya di Yatsrib yang jarahnya 500 km dari Mekah.

Setelah satu bulan di Madinah, yang masih bernama Yatsrib, Aminah kembali ke Mekah. Dalam permulaan perjalanan Aminah menderita sakit. Penyakitnya semakin parah hingga singgah di Abwa, sebuah kota antara Mekah dan Madinah. Di tanah Abwa ini ibunda Rasulullah Saw meninggal dunia.

Kembali ke Abdul Abdul Muthallib
Rasullullah kembali kepada kakeknya di Mekah. Abdul Muthallib merasakan kasih sayangnya kepada Muhammad semakin menebal. Menyaksikan cucunya yang yatim piatu harus menanggung kesedihan. Semakin besar kecintaannya, sampai-sampai dia pernah meraskan kecintaan seperti itu, bahkan terhadap anaknya sekalipun. Dia tidak ingin meninggalkan Rasulullah sebatang kara, bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya sendiri.

Abdul Muthallib meninggal pada saat Rasulullah berusia 8 tahun 2 bulan
10 hari, di kota Mekah. Sebelum wafat dia mengamanatkan pengasuhan cucunya kepada pamannya, yakni Abu Thalib, seorang dari saudara laki-laki ayahnya Rasulullah.

Di Bawah Asuhan Abu Thalib
Abu Thalib bin Abdul Muthallib melaksanakan hak anak saudaranya dengan penuh hati dan menganggapnya sebaga anak sendiri. Bahkan seperti halnya kakeknya, dia pun mendahulukan Rasulullah Saw daripada putra-putranya.

Syaikh Abdullah dalam Mukhtashar as-Sirah menyebutkan ketika usia Rasulullah Saw meningjak dua belas tahun, Abu Thalib mengajaknya melakukan perjalanan dagang ke kota Syam. Saat itu negeri Syam sedang berada di bawah kekuasaan Bangsa Romawi.

Hingga tiba di Bushra, sebuah daerah di negeri Syam, Abu Thalib beserta rombongannya ditemui Rahib yang dikenal dengan nama Buhaira (pendapat lain mengatakan namanya adalah Jurjis) dan mengajak masuk ke rumahnya. Dia mendatangi rombongan Abu Thalib karena melihat Rasulullah. Seraya memegang tangannya, ia berkata, "Laki-laki ini akan menjadi penghulu seluruh alam, dia adalah utusan Tuhan seru sekalian alam. Dia adalah laki-laki yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam."

Singkat cerita, usai mendengarkan pernyataan Buhaira yang diambil dari kitab dia baca, Abu Thalib atas permintaa Buhaira, lalu bergegas mengirimkan Rasulullah bersama beberapa pemuda agar kembali ke Mekah.

Sampai usia empat puluh tahun beliau berada di bawah perlindungan Abu Thalib. Pamannya rela menjalin persahabatan bahkan rela menghadapi musuh demi membela Nabi Muhammad Saw.

Demikian sebagian orang-orang yang berjasa dalam membesarkan dan mendampingi Rasulullah tatkala masih kecil yang sudah ditinggal wafat oleh ayah dan ibundanya. Semoga mereka semua mendapatkan limpahan rahmat dari Allah. Dan khususnya kita sebagai umatnya, dapat bertambah kecintaan kita kepada Rasulullah Saw dengan cara meneruskan perjuangannya dan mengamalkan ajarannya.

Taushiyah Maulid Nabi Saw Habib Jindan


Medan, Aswaja Center Klaten
NU Online mengabarkan: Habib Jindan bin Novel bin Jindan dari Jakarta menyampaikan taushiyah Maulid Nabi dalam acara istighosah yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Utara. Habib menjelaskan keteladaan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari serta keteladanan para ulama pewaris Nabi.

Istighosah telah terlaksana 30 Desember 2014 dalam rangka menyambut tahun baru 2015 dengan kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW di Kantor PWNU Sumut Jl. Sei Batanghari, Medan. Kegiatan ini diikuti lebih 200 jamaah yang berasal dari pengurus PWNU Sumut, warga NU di Medan sekitarnya dan jamaah majlis taklim Darusshofa Medan. Kegiatan dimulai dengan melaksanakan shalat maghrib berjamaah, tanya jawab keislaman, tausiyah maulid dan doa istighosah.

Habib Jindan bin Novel menjelaskan secara detail seluk beluk akhlak Nabi Muhammad sehari-hari sehingga para pendengar merasakan kehangatan dan kedekatan dengan sosok Nabi Muhammad sebagai suri tauladan yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Habib Jindan berpesan, bahwa setelah baginda Nabi Muhammad tiada maka panutan umat seharusnya adalah ulama sebagai warisatul anbiya (pewaris Nabi). Menurutnya, para ulama di mana pun dan kapan pun harus menjunjung tinggi ajaran Nabi Muhammad sehingga umat tidak sesat akibat adanya orang-orang yang pura-pura seperti para ulama yang tidak meneladani kehidupan Nabi Muhammad.

Sejalan dengan pesan Habib, dalam sambutan acara dari Wakil Rais PWNU Sumut KH Imron Hasibuan menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang didedikasikan oleh para ulama untuk umat sehingga para ulama senantiasa berkhidmat demi kebaikan umat.

“Tidak ada ulama yang menyesatkan umatnya dan selalu berusaha menunjukkan jalan kebaikan kepada umat dalam mengarungi kehidupannya di dunia, namun tidak saja berkaitan dengan urusan dunia, termasuk dalam urusan akhirat yang berkaitan dengan seluk beluk ibadah,” ungkap KH. Imron Hasibuan.

IA juga menegaskan bahwa NU sebagai organisasi para ulama dan sesuai dengan khittahnya tidak boleh digunakan sebagai sarana politik. “NU bukan organisasi politik, padahal politik sarat dengan kepentingan dan tujuan sesaat, makanya NU harus di atas politik, yaitu membawa nilai-nilai universal Islam dalam politik dan membawa kebaikan bagi semua manusia,” katanya.

Hadir dalam kegiatan ini Wakil Rais KH Abdul Baits Nasution yang juga Pimpinan Pesantren al-Ikhlas, Madina, para pengurus dari jajaran suriyah dan tanfidziyah, KH. Asnan Ritonga, KH. Abdul Hamid Ritonga, KH. Hamdan Yazid, H. Ali Jabbar Napitupulu, Abrar M. Dawud Faza, H. Mhd. Hatta Siregar, H. Adlin Damanik, H. Enda Mora Lubis, H. Khoiruddin Hutasuhut, Emir el Zuhdi Batubara, H. Sorimonang Rangkuti dan lainnya.

Wakil Rais KH Abdul Baits Nasution menyebutkan bahwa untuk tahun 2015 dan seterusnya PWNU Sumut sudah berbenah diri sebagai organisasi kemasyarakatan yang mandiri dan profesional, terbukti pada tahun politik 2013 dan 2014 PWNU Sumut dapat menunjukkan independensinya di tengah kancah politik yang sarat dengan kepentingan-kepentingan.

“Saya dan nahdliyyin-nahdliyyat Sumatera Utara dapat berbangga dengan izin Allah, selama tahun 2013 dan 2014 yang lalu tidak ada satu pun pesta politik yang membawa simbol atau identitas NU untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tentunya ini membanggakan dan meningkatkan martabat dan wibawa NU di tengah-tengah masyarakat kita,” ungkapnya.

Acara diakhiri dengan doa istighosah yang dipimpin Wakil Rais PWNU Sumut KH Hamdan Yazid untuk persatuan, perdamaian dan peningkatan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya disertai dengan permohonan ampun kepada Allah agar dosa-dosa yang ada diampunkan dan diberikan perlindungan-Nya dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.

Sabtu, 03 Januari 2015

Cara Membut Widget Label Tertentu dengan Satu Thumbnail


Pahamkah Anda yang dimaksud oleh judul tulisan ini? Kalau belum paham, silakan lihat gambar di bawah ini:


Nah, sekarang tentunya sudah paham. Apakah Anda ingin membuatnya di blog Anda? Apakah Anda sudah mengetahui cara membuatnya? Kalau belum tahu, berikut akan kami paparkan cara membuatnya. Silakan simak, semoga Anda bisa melakukannya sendiri di blog Anda.

1. Pertama yang mesti Anda lakukan adalah login ke blogger dengan akun Anda
2. Setelah itu pilih blog yang ingin anda tambahkan widget ini.
3. Masuk ke template >> Edit HTML, kemudian centang expand widget templates
4. Untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi kesalahan dalam pengeditan nantinya, backup dulu template Anda
5. Setelah semua langkah diatas anda lakukan, letakkan kode berikut ini di atas kode ]]></b:skin> :

img.label_thumb{float:left;border:1px solid #8f8f8f;background:#D2D0D0;margin-right:10px;height:60px;width:60px;padding:2px} img.label_thumb:hover{background:#f7f6f6}
.label_with_thumbs{float:left;width:100%;min-height:70px;margin:0 5px 2px 0}
ul.label_with_thumbs li{min-height:65px;margin:2px 0;padding:4px 0}

Perhatikan tulisan warna biru diatas, itu adalah lebar dan tinggi thumbnail image. 

6. Selanjutnya masih pada posisi Edit HTML, masukkan kode berikut ini diatas kode </head> :

<script src='http://yourjavascript.com/425111422721/label.js' type='text/javascript'/>

7. Setelah itu save templates, kemudian menuju ke layout pilih kotak yang akan ditambahkan widget ini. Klik add gadget >> HTML/Javascript masukkan kode berikut ini ke dalamnya :

<script type='text/javascript'>var numposts = 1;var showpostthumbnails = true;var displaymore = false;var displayseparator = false;var showcommentnum = false;var showpostdate = false;var showpostsummary = true;var numchars = 60;</script>

<script type="text/javascript" src="/feeds/posts/default/-/
news?orderby=updated&alt=json-in-script&callback=labelthumbs"></script>

<script type="text/javascript">
function recentpostslist(json) {
 document.write('<ul>');
 for (var i = 1; i < json.feed.entry.length; i++)
 {
    for (var j = 1; j < json.feed.entry[i].link.length; j++) {
      if (json.feed.entry[i].link[j].rel == 'alternate') {
        break;
      }
    }
var entryUrl = "'" + json.feed.entry[i].link[j].href + "'";//bs
var entryTitle = json.feed.entry[i].title.$t;
var item = "<li>" + "<a href="+ entryUrl + '" target="_blank">' + entryTitle + "</a> </li>";
 document.write(item);
 }
 document.write('</ul>');
 }
</script>
<script src="
http://aswajacenterklaten.blogspot.com/feeds/posts/summary/-/news?max-results=6&alt=json-in-script&callback=recentpostslist"></script>
<a href="
http://aswajacenterklaten.blogspot.com/search/label/news" style="float:right;font:normal 11px Arial;padding:5px 0;">More on this category &#187;</a>


Keterangan :
Warna biru : adalah label atau kategori yang ditampikan, Anda bisa menggantinya dengan label anda sesuaikan dengan kebutuhan.
Warna merah : Ganti URL dengan URL blog anda.

Selanjutnya save dan lihat hasilnya.

Tampilan dari widget ini mengikuti kode CSS sidebar (jika Anda meletakkan di sidebar) pada template yang Anda pakai. Kode CSS yang digunakan pada pembuatan widget ini hanya digunakan untuk mengatur tampilan thumbnail.

Demikian tadi tutorial mengenai membuat widget per label kali ini, jika masih ada yang kurang jelas silahkan tinggalkan pesan di kotak komentar, selamat mencoba dan semoga bermanfaat.
 

Mengenal Allah Swt


Ketahuilah, kewajiban yang pertama kali bagi setiap orang mukallaf adalah mengenal Allah, Yang menciptakannya dari tidak ada menjadi ada. Ia diciptakan oleh-Nya semata-mata untuk beribadah. Mengenal pada mulanya memerlukan mengetahui yang disembah, yakni mengetahui Dzat, sifat dan perbuatan-Nya menurut cara yang terpuji.

Allah Swt berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Adz Dzariyat: 56)

Cara Mengenal Allah

Ada dua cara yang bisa kita gunakan untuk mengenal Allah Swt:
Pertama, dengan cara mendengar dan mengutip, artinya mendengar apa yang telah diberitakan oleh Allah Swt tentang nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang sempurna di dalam kitab-kitab suci-Nya dan melalui lisan-lisan para rasul-Nya. Dia berfirman:

"Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang menciptakan, yang membentuk rupa, yang mempunya Asmaul Husna, bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al Hasyr: 22-24)

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah memiliki 99 asma, barangsiapa menghafal semuanya akan dimasukkan ke dalam surga... (kemudian beliau menyebutkan nama-nama Allah/Asmaul Husna)."

Kedua, dengan akal, maksudnya memfungsikan akal pikiran untuk merenungkan tentang alam raya (makhluk) ini dan mengambil pelajaran dari semua kejadian, kemudian menjadikan semua itu sebagai dalil atau bukti Yang Maha Menciptakannya, yang tiada lain adalah Allah Swt, tiada Tuhan kecuali Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Allah Swt berfirman:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang telah diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dari pengisaran angin dan awan yang telah dikendalikan antara langit dan bumi sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. al Baqarah: 164)
 

Mengadakan Maulid Nabi Saw Ternyata Dapat Pahala


Di bulan Rabi'ul Awwal, bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw., umat Islam banyak menggelar peringatan Maulid Nabi baik di rumah, mushalla, masjid dan berbagai tempat lainnya. Mereka bergembira dengan kelahiran Nabi mereka, mengeluarkan shadaqah, menggelar pengajian dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Berkaitan dengan peringatan Maulid Nabi yang dipenuhi dengan amaliah kebaikan tersebut, Imam al-Suyuthi dalam fatwanya menegaskan bahwa orang-orang yang memperingatinya akan diberi pahala. Fatwa tersebut sebagaimana mana dimuat dalam kitab Al Haawi Lil Fataawi, Juz I, halaman 271-272:


فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ ؟
وَهَلْ هُوَ مَحْمُوْدٌ أَوْ مَذْمُوْمٌ ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا ؟
"Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal, Bagaimana hukumnya menurut syara’  dan apakah termasuk terpuji atau tercela ? serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala atau tidak ?"

اَلْجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
 
"Jawabannya: Menurutku pada dasarnya amal maulid itu adalah berkumpulnya orang-orang, pembacaan ayat yang mudah dari al Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permulaan perihal Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi.

Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu adalah termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang melakukannya. Karena adanya perkara yang ada di dalamnya berupa pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran beliau yang mulia."


Di antara yang juga bisa disimpulkan dalam fatwa Imam al-Syuyuthi diatas, bahwa ada pembagian bid'ah, salah satunya adanya bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) atau selaras dengan al Qur'an, al Sunnah, Ijma' dan Atsar. Orang-orang yang mengerjakan bid'ah hasanah akan diberikan pahala.

Tiga Hal Yang Pelu Dihindari




الحمد لله أحمده وسبحانه وتعالى على نعمه الغزار, أشكره على قسمه المدرار, . أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. واشهد ان سيدنا محمدا عبده و رسوله النبي المختار. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله الأطهار وأصحابه الأخيار وسلم تسليما كثيرا. أما بعد فياأيها الناس اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وأنتم مسلمون.

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah yang Maha Agung shalawat dan salam terhaturkan kepada Rasulullah manusia paling sempurna di jagat alam. Pada hari kesempatan yang istimewa ini marilah kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Karena ketaqwaanlah yang akan membawa kita pada keselamatan.

Khutbah kali ini ingin menyampaikan satu hadits Rasulullah saw yang jika diperhatikan secara seksama memberikan ajaran kepada seorang muslim agar tidak terjerumus dalam kerugian. Hadits itu berbunyi:

رُوِىَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ أَصْبَحَ وَهُوَ يَشْكُو ضَيْقَ الْمَعَاشِ فَكَاَنَّمَا يَشْكُو رَبَّهُ وَمَنْ أَصْبَحَ لِأُمُوْرِ الدُّنْيَا حَزِيْنًا فَقَدْ أَصْبَحَ سَاخَطًا عَلىَ اللهِ وَمَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِناَهُ فَقَدْ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ

Diriwayatkan dari Nabi saw sesungguhnya beliau pernah bersabda: barang siapa bangun di pagi hari kemudian mengadukan kesulitannya kepada sesama (mahkluk/manusia), maka seolah-olah ia mengadukan tuhannya (karena tidak rela dengan apa yang diterimanya). Dan barang siapa merasa  sedih dengan kondisi duniawinya di waktu pagi, maka dia pagi-pagi telah membenci Allah. Dan barang siapa merendahkan dirinya di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh telah lenyap dua pertiga agamanya.    

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah

Itulah tiga hal yang seharusnya dihindarkan oleh setiap muslim. Mengingat ketiga hal tersebut memiliki dampak buruk kepada hubungan manusia dengan Allah swt.

Pertama, hindarkanlah kebiasaan mengeluh kepada sesama akan kondisi yang ada. Karena hal itu sama artinya dengan menggugat taqdir Allah swt yang ditetapkan bagi seorang hamba. Mengeluh dan meratapi nasib yang diderita sama artinya dengan merasa tidak puasa akan pemberian Allah swt. Ketidak puasan itu adalah manusiawi, tetapi hendaknya langsung saja diratapkan dalam doa kepada-Nya janganlah diadukan kepada sesama. Sebagaimana do’a Nabi Musa yang dipanjatkan kepada Allah Swt tatkala beliau melewati lautan bersama kaumnya:

اَلَّلهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ وَاِلَيْكَ الْمُشْتَكَى وَاَنْتَ الْمُسْتَعَانُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 

Ya Allah segala puji bagi-Mu. Kepada Engkaulah aku mengadu dan hanya Engkau yang bisa memberi pertolongan. Tiada daya dan upaya, serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha  Tinggi lagi Maha Agung

Kedua, hindarkanlah perasaan sedih dengan kondisi yang ada dipagi hari. Karena hal itu akan menimbulkan rasa tidak ridha dengan apa yang diberikan Allah kepada kita. Kedua larangan ini adalah bukti ketdak sabaran seorang hamba akan nasibnya. Sesungguhnya orang yang sabar tidak akan menggerutu apalagi mengadukan nasibnya kepada sesama.

Kedua hal di atas pada hakikatnya menunjukkan betapa seeorang hamba tidak lagi bersabar. Karena sejatinya sabar adalah Tajarru’ul murarati bighairi ta’bitsin (tahan menelan barang pahit tanpa cemberut). Oleh karena itu, ketika di pagi hari kita telah menggerutu akan keadaan nasib kita, berarti kita bukan lagi orang yang sabar. Apalagi hingga mengadukan nasib kita kepada sesama manusia dengan mengeluhkan keberadaan dan keadaan yang kita alami.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Ketiga, barang siapa merendahkan dirinya di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh telah lenyap dua pertiga agamanya. Poin ketiga dan terkahir ini dapat dimaknai sebagai larangan Rasulullah saw akan adanya persaan thama’ dan pengharapan yang tinggi kepada sesama. Karena pengharapan itu hanya boleh disandarkan kepada Allah swt saja.

Sedangan pada sisi lain juga menunjukkan larangan pengagungan sesama manusia, apalagi pengagungan itu dilatar belakangi kepimilikan harta, sungguh hal itu pasti akan berimbas pada penghinaan ilmu dan kemaslahatan. Bukankah ini telah menjadi fenomena di sekitar kita saat ini? Di mana orang-orang yang memiliki harta dapat menguasai berbagai jejaring bahkan dapat menentukan arah ilmu pengetahuan. Bukankah beberapa wacana yang ada di negeri ini merupakan hasil kerja para penyandang dana? Na’udzubillahi min dzalik.

Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah

Jika demikian adanya berbagai larangan, lantas apakah hal yang diperbolehkan untuk kita dalam menilai lebih sesama manusia? Islam hanya memberikan tiga dua kepada umatnya agar saling menghargai dan memuliakan pertama karena ilmunya, karena kebaikannya. Selebihnya tidak ada. Jadi siapapun yang memuliakan manusia dengan berbagai alasan sesungguhnya orang itu telah terjerembab kepada lubang kecil yang jika dibiarkan akan menenggelamkan diri pada lumpur kethamakan.

Akhirul kalam, pada khutbah ini khatib hanya ingin menyampaikan pesan Sayyidul Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bahwa:

لاَبُدَّ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ فِى سَائِرِ اَحْوَالِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاء: أَمْرٌ يَمْتَثِلُهُ وَنَهْيٌ يَجْتَنِبُهُ وَقَدْرٌ يَرْضَى بِهِ

Setiap muslim harus berada dalam tiga keadaan yaitu, melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan Allah dan rela akan qadha dan qadar (ketetapan) Allah.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
مَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
 
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ 
 
Sumber: NU Online

Traktat Peradaban Islam Gus Dur


Perkenankan untuk mengingatkan kembali kepada suatu rumusan yang dapat kita sebut bersama sebagai “Traktat Peradaban Islam”. Secara sederhana traktat dapat diartikan: risalah, acuan, atau metode penanganan masalah. Peradaban Islam dapat diartikan: kemajuan kualitas hidup masyarakat yang dinamis baik secara lahir maupun batin, material maupun non-material.

Prinsip-prinsip dari “Traktat” ini telah dikemukakan oleh KH. Abdurrahman Wahid pada tahun 1970an. “Traktat” dapat ditelusuri kembali pada dua dokumen penting yang berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam” dan “Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?” yang sekarang dapat dibaca dalam buku Islam Kosmopolitan (2007).

“Traktat” disusun kembali dalam bentuk aforisma-aforisma yang disarikan dari dua dokumen tersebut. Pengertian aforisma adalah sebuah pernyataan yang padat dan ringkas.

Pertama: Peradaban Islam yang baru berdiri diatas pijakan kuat universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam. Peradaban ini akan membentang dari Asia Tenggara hingga ke Marokko, yang berdampingan dengan peradaban Sinetik dan Peradaban Indik.

Kedua: Universalisme Islam adalah perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam bidang hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid) dan etika (akhlaq) yang merupakan fondasi kepedulian atas kemanusiaan (al-insaniyyah).

Ketiga: Ajaran hukum fiqh memberi jaminan dasar kepada masyarakat, yang meliputi: (a) hifdzun nafs, yakni perlindungan keselamatan fisik semua masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum; (b) hifzud din, yakni perlindungan keyakinan agama masing-masing; (c) hifdzun nasl, yakni perlindungan keluarga dan keturunan; (d) hifdzul mal, yakni perlindungan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau pernggusuran di luar prosedur hokum; (e) hifdzul ‘aql, yakni perlindungan keselamatan hak milik dan profesi. Pemerintah yang adil harus menjamin keselamatan atas dasar jaminan-jaminan tersebut.

Keempat: Ajaran tauhid menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan. Kenyataan adanya perbedaan adalah peluang uji coba untuk menajamkan kebenaran agama masing-masing keyakinan dan dengan demikian merupakan proses untuk membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Walhasil, pencapaian kebenaran keyakinan dapat berlangsung melalui proses dialektis.

Kelima: Ajaran etika mengharuskan kepedulian atas kemanusiaan yang diimbangi dengan keterbukaan yang arif terhadap wawasan kultural dan keilmuan dari masyarakat dan peradaban yang lain. Saling menerima dan memberi serta saling pengaruh-mempengaruhi adalah kenyataan yang wajar dalam kehidupan.

Keenam: Watak kosmopolitanisme Islam tampak sejak awal pemunculannya ketika Nabi Muhammad SAW melakukan pengorganisasi sosial di Madinah hingga pada abad ke-3 hijriyah yang ditandai oleh saling serap antarperadaban-peradaban yang ada. Kosmopolitanisme Islam muncul dalam bentuk: hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas politik, adanya dialog yang bebas, dan kehidupan beragama yang eklektik.

Ketujuh: Kosmopolitanisme Islam terwujud nyata bila semua masyarakat bersikap kreatif, inovatif dan berinisitif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Tasawuf, filsafat, ilmu pengetahuan, fiqh dan teknologi merupakan aktivitas kreatif yang mendukung terwujudnya kosmopolitanisme.

Kedelapan: Kosmopolitanisme Islam tercapai secara optimal bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir semua masyarakat, termasuk mereka yang non-muslim. Menjadi tugas para pemikir, budayawan dan negarawan untuk mengusahakan optimalisasi tersebut dengan menjamin persamaan hak dan mewujudkan keadilan.

Kesembilan: Agenda baru dibutuhkan untuk menampilkan universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam, agar kaum muslim mampu ambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia di masa pasca-industri.

Kesepuluh: Agenda baru universalisasi ajaran Islam diarahkan untuk kegunaan umat manusia secara keseluruhan, mencakup kebutuhan akan toleransi, keterbukaan sikap, dan kepedulian yang penuh kearifan terhadap keterbelakangan, belenggu kebodohan dan kemiskinan yang menyelimuti kehidupan mayoritas muslim dewasa ini.

Kesebelas: Kebutuhan akan kosmopolitanisme baru dengan sendirinya akan muncul melalui proses universalisasi Islam. Kosmopolitanisme baru ini membentuk sikap kerjasama semesta untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur social-ekonomi dan kebiadaban rejim-rejim yang dzalim.

Keduabelas: Hanya dengan menampilkan universalisme baru dan kosmopolitanisme baru, kaum muslim akan mampu menciptakan solidaritas sosial dan jiwa transformatif untuk memperbaiki nasib sendiri dan warga masyarakat yang lain. Dengan demikian suatu peradaban Islam yang baru dapat dirintis.

Ketigabelas: Suatu peradaban ditandai oleh kemajuan material maupun non-material yang mencakup kesejahteraan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi,  karya-karya kesusasteraan, kedokteran, arsitektur dan lainnya, serta yang tak kalah penting adalah keluhuran hidup spiritual. Kebangunan baru peradaban Islam akan terwujud bila dilandasi oleh suatu jenis wawasan kemanusiaan yang lebih relevan dengan kebutuhan universal dari kehidupan umat manusia di kemudian hari.

Keempatbelas: Peradaban Islam akan terwujud lewat kemampuan meramu keluhuran hidup yang dinamis dan berkeseimbangan dari peradaban-peradaban yang ada sekarang. Kemampuan ini menuntut: (a) menerapkan dan menafsirkan kembali secara kreatif penemuan-penemuan sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia; (b) merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang berubah cepat dan beraneka tantangan dan kemungkinan.

M.H. Nurul Huda, Jamaah Gusdurian tinggal di Depok

Sumber: NU Online

Terjemah Kitab Al Umm


Kitab Al Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para penganut madzhab Syafi'i di Indonesia yang merupakan madzhab terbesar. Kitab ini mencakup pembahasan yang luas dalam bidang fiqih dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu. Kitab ini juga menjadi rujukan bagi kalangan ahli fiqih madzhab Syafi'i hingga saat ini dalam menyusun kitab-kitab mereka. 

Kitab Al Umm (terjemahan) yang ada adalah 11 jilid. Di sini selengkap mungkin akan kami sediakan. Namun mohon maaf untuk jilid 3 dan jilis 10 belum ditemukan. (Hilang entah ke mana linknya, hehehe...) Namun yang ada ini Insya Allah akan memberi manfaat yang sangat besar bagi Anda yang mengunduhnya.

Jika Anda berminat untuk mengunduh (mendownload), silakan klik pada link-link yang kami sediakan berikut ini. Semoga bermanfaat.

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3 (Maaf, link entah ke mana. Mohon bantuan untuk mencarinya ya. Kalau sudah ketemu tolong dishare di sini, heheh...)
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10 (Maaf, ini juga link dah lama hilang. Mohon bantuan ya mencarinya).
Jilid 11


Album Shalawat : Al Asyiqien Group


Album ini merupakan Album Shalawat versi Hadrah Banjari terbaru di tahun 2014. Insya Allah bagus. Bisa dijadikan referensi variasi pukulan dan variasi vokal. Kebanyakan diambil dari irama festival al banjari Jawa Timur.

Kami mencoba menelaah dari album ini sebagai berikut:
  1. Hadrah Banjari
  2. Judul lagu favorit "Dhoharoddin", namun dalam tajuk album ini adalah lebih menampilkan dengan lagu "Ya Muhaimin", "Habibi Ya Muhammad", karena lebih asyik dan indah lantunannya.
  3. Munsyid lelaki semua.
  4. Pukulan hadrah banjari 'bas' kurang.
  5. Suluk oke, variasi banjari bagus.
Di bawah ini adalah link downloadnya:

1. Ya Muhaimin
2. Fi Hawa
3. Ya Habibal Qalb (Plus Suluk)
4. Dhoharoddin (Plus Suluk)
5. Habibi Ya Muhammad
6. Ya Badrotim
7. Balighi
8. Ya Thaybah (Plus Suluk)
9. Robbi Faj'al

Semoga bermanfaat dan menambah cinta kita kepada Rasulullah Saw.

Jangan lupa untuk membeli CD aslinya ya. Semoga berkah.

Jumat, 02 Januari 2015

Cara Beristinjak


Adapun cara beristinja’ adalah de­ngan melaksanakan salah satu dari tiga cara di bawah ini:

1.   Beristinja’ dengan menggunakan air dan batu/tissue sekaligus, yaitu de­ngan menggunakan batu/tissue ter­lebih dahulu lalu diikuti dengan air setelahnya. Dan cara ini adalah cara yang afdhal dalam beristinja’.

2.   Beristinja’ dengan menggunakan air saja tanpa batu/tissue dan sejenis­nya. Dan cara ini lebih baik dari cara yang ketiga berikut ini, karena de­ngan menggunakan air dapat meng­hilangkan benda najis sekaligus be­kasnya.

3.   Beristinja’ dengan menggunakan batu/tissue atau sejenisnya tanpa diikuti dengan air. Dan cara yang ketiga ini boleh digunakan seperti pertanyaan Ibu Khodijah asalkan me­menuhi syarat-syarat sahnya ber­istinja’.

Apa saja syarat-syarat sahnya ber­istinja’? Mari ikuti penjelasan selanjut­nya.

Batu/Tissue untuk Istinja’

Yang dimaksud dengan batu di sini bukan hanya batu dan tissue yang kita ketahui, melainkan benda apa saja yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

1.   Suatu benda yang suci. Maka tidak sah jika beristinja’ dengan sesuatu (batu/tissue dan lain-lain) yang najis.

2.   Suatu benda yang padat. Maka tidak sah menggunakan sesuatu yang cair selain air seperti dengan mengguna­kan sirup air teh kopi dan lain-lain.

3.   Benda tersebut dapat menghilang­kan najis yang keluar dari kemaluan. Lain halnya jika menggunakan ben­da yang tidak dapat menghilangkan­nya, karena licin atau tidak dapat me­nyerap, seperti kaca atau permukaan bambu. Maka tidah sah beristinja’ dengan menggunakan benda-benda tersebut.

4.   Benda tersebut bukan termasuk yang dihormati dalam agama dari segi karena hal itu adalah termasuk makanan manusia, seperti roti atau buah, atau termasuk makanan jin, seperti tulang, atau dari segi kita wajib menghormatinya, seperti kertas-kertas yang tertuliskan pada­nya ilmu-ilmu agama Islam, seperti kertas dari buku-buku agama Islam. Maka menggunakan benda-benda tersebut ketika beristinja’ adalah haram dan tidak sah.



Syarat Beristinja’ dengan Batu atau Sejenisnya

Beristinja’ dengan batu/tissue atau sejenisnya tanpa menggunakan air sama sekali, hukumnya boleh, dan di­hukumi sah shalat yang dilakukan se­telahnya dan tidak perlu diqadha’ asal­kan memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

1.   Menggunakan tiga batu atau satu batu yang mempunyai tiga sisi. Be­gitu pula dengan sejenisnya, seperti tissue, dan lain-lain, harus dengan tiga tissue atau satu tissue dengan tiga sisi, pokoknya yang penting ha­rus dengan tiga usapan walaupun hanya dari satu batu atau satu tissue dan lain-lain. Dan tidak sah istinja’­nya jika dilakukan hanya dengan satu kali usapan, walaupun satu kali usapan tersebut telah menghilang­kan najisnya. Maka harus ditambah dua usapan lagi.

2.   Tiga kali usapan tersebut telah meng­hilangkan benda najisnya sekiranya yang tersisa hanya bekasnya yang ti­dak dapat hilang kecuali dengan menggunakan air. Jadi di sini disyarat­kan dua hal sekaligus, yaitu harus beristinja’ dengan menggunakan tiga kali usapan dan yang kedua harus hilang benda najisnya dengan tiga kali usapan itu. Maka, jika sudah kita bersihkan dengan tiga kali usapan tetapi benda najisnya masih ada, ha­rus ditambah satu usapan keempat, ke­lima, dan seterusnya, hingga ben­da najisnya tidak tersisa kecuali be­kasnya saja, yang tidak akan hilang kecuali dengan menggunakan air. Namun, sunnah jika hilangnya de­ngan usapan dari hitungan genap, maka ditambah satu kali usapan, sehingga jumlah usapannya dengan hitungan ganjil. Misalnya telah bersih dengan usapan keempat, maka di­tambah satu menjadi lima, dan begitu seterus­nya. Begitu pula sebaliknya jika de­ngan hanya satu kali usapan benda najisnya sudah hilang, tetap harus ditambah usapan kedua dan ketiga. Pokoknya paling sedikit dalam ber­istinja’ dengan menggunakan batu atau sejenisnya harus tiga kali usap­an, dan harus hilang najisnya dan ti­dak tersisa kecuali bekasnya saja.

3.   Benda najis (berak/kencing) yang ada di sekitar kemaluan belum me­ngering sebagiannya atau semuanya sekiranya tidak dapat lagi dihilang­kan dengan batu atau sejenisnya. Jika terjadi demikian, harus beristin­ja’ dengan menggunakan air. Tidak bo­leh dengan menggunakan batu atau sejenisnya, karena tidak ada faedahnya.

4.   Benda najis tersebut (berak/kencing) tidak berpindah dari tempat asalnya keluar (lubang kencing dan anus). Jika berpindah dari tempat asalnya keluar (lubang kencing dan anus) ke tempat lain, berak dan kencing yang berpindah dari tempat asalnya itu tidak boleh dihilangkan dengan batu atau sejenisnya, menghilangkannya harus dengan menggunakan air. Wa­­laupun najis tersebut masih ber­ada di sekitar penis dari batang zakar atau masih di sekitar bibir vagina wanita dan di sekitar anus, misalnya, jika kencing tersebut memercik ke kepala zakarnya (penis), tempat per­cikannya tersebut harus menggu­nakan air untuk beristinja’ darinya, ti­dak sah dengan batu atau sejenis­nya. Adapun najis yang masih ber­sambung dengan tempat asalnya tetap boleh menggunakan batu atau sejenisnya.

5.   Benda najis tersebut (berak atau ken­cing) tidak terkena suatu benda yang lain dari jenis najis tersebut. Lain halnya jika berak atau kencing­nya terkena percikan air, kena debu, pasir, dan lain-lain, tidak boleh ber­istinja dengan menggunakan batu atau sejenisnya, harus mengguna­kan air untuk beristinja darinya.

6.   Najis berak atau kencingnya tidak sampai melewati batas bibir vagina wanita, baik yang luar maupun yang dalam, dan juga tidak melewati batas penis atau kepala zakar lelaki serta tidak melewati batas anus dari dubur keduanya (yaitu tempat yang ber­kerut dari dubur). Lain halnya jika najisnya itu telah melewati batas-batas tersebut, harus menggunakan air untuk beristinja’ dari najis yang telah melewati batas tersebut, dan tidak boleh dengan menggunakan batu atau sejenisnya. Adapun yang masih berada dalam batas-batas tersebut boleh beristinja’ dengan meng­gunakan batu atau sejenisnya.

7.   Menggunakan batu atau sejenisnya menyeluruh ke semua tempat yang wajib diistinja’ (zakar laki-laki yang terkena najisnya dan antara dua ba­tas vagina perempuan bagian luar ser­ta yang mengerut dari bagian anus keduanya). Sedangkan cara paling afdhal untuk melakukan istinja’ dengan menggunakan batu atau se­jenis­nya dari kemaluan laki-laki atau perempuan begitu pula anus kedua­nya dengan cara memulai pengusap­an dari arah kanan lalu diteruskan dengan arah berputar ke arah kiri, yang kedua dimulai dari kiri diterus­kan ke arah kanan juga dengan cara berputar, dan yang ketiga dengan mengusapnya dari arah bawah ke atas melibatkan dua sisi tersebut sekaligus.

8.   Batu atau sejenisnya harus suci. Maka tidak sah jika beristinja’ dengan menggunakan batu atau sejenisnya yang najis.