Penjelasan Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari tentang Maulid Nabi yang Disunnahkan Ulama

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. telah menjadi kebiasaan umat Islam, salah satunya dalam dilingkungan warga Nahdlatul Ulama yang ada di Indonesia. Pendiri NU, Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari dalam fatwanya menjelaskan mengenai rambu-rambu peringatan...

Taushiyah Maulid Nabi Saw Habib Jindan

Medan, Aswaja Center Klaten NU Online mengabarkan: Habib Jindan bin Novel bin Jindan dari Jakarta menyampaikan taushiyah Maulid Nabi dalam acara istighosah yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Utara. Habib menjelaskan...

Kedudukan Sahabat Nabi

Sahabat Nabi Saw sesuai dengan kedudukannya terbagi ke dalam dua kelompok, tapi tidak mengurangi statusnya sebagai sahabat.Sama-sama sahabat, tapi status keauliaannya berbeda-beda. Contoh, Khulafaur Rasyidin dan 'Asyarah al Kiram. Lalu, sahabat-sahabat yang...

Terjemah Kitab Al Umm

Kitab Al Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para penganut madzhab Syafi'i di Indonesia yang merupakan madzhab terbesar. Kitab ini mencakup pembahasan yang luas dalam bidang fiqih dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi...

Dalil Kebolehan Menyelenggarakan Maulid Nabi Muhammad Saw

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia Islam, kaum Muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran...

Minggu, 12 April 2015

Siapa Yang Paling Dekat dengan Tuhan?


Tokoh agama Islam, Kristen, dan Budha sedang berdebat. Gus Dur tentu sebagai wakil dari agama Islam. Kala itu diperdebatkan mengenai agama mana yang paling dekat dengan Tuhan?


Seorang biksu Budha menjawab duluan. “Agama sayalah yang paling dekat dengan Tuhan, karena setiap kita beribadah ketika memanggil Tuhan kita mengucapkan ‘Om’. Nah kalian tahu sendiri kan seberapa dekat antara paman dengan keponakannya?”


Seorang pendeta dari agama Kristen menyangkal.“Ya tidak bisa, pasti agama saya yang lebih dekat dengan Tuhan.” ujar pendeta


“Lah kok bisa ?” sahut biksu penasaran.


“Kenapa tidak,agama Anda kalau memanggil Tuhan hanya om, kalau di agama saya memanggil Tuhan itu ‘Bapa’. Nah, kalian tahu sendiri kan lebih dekat mana anak sama bapaknya daripada keponakan dengan pamannya,” jawab pendeta.


Gus Dur yang belum mengeluarkan argumen masih tetap tertawa malah terbahak-bahak setelah mendengar argumen dari pendeta.


“Loh kenapa Anda kok tertawa terus?” tanya pendeta penasaran.
“Apa Anda merasa bahwa agama Anda lebih dekat dengan Tuhan?” sahut biksu bertanya pada Gus Dur.


Gus Dur masih saja tertawa sambil mengatakan “Ndak kok, saya ndak bilang gitu, boro-boro dekat  justru agama saya malah paling jauh sendiri dengan Tuhan.” jawab Gus Dur dengan masih tertawa.


“Lah kok bisa ?” tanya pendeta dan biksu makin penasaran.


“Lah gimana tidak, lah wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai Toa (pengeras suara),” jawab Gus Dur.

Ahmad Lailatus Sibyan, santri asal Jawa Tengah, tinggal di Yogyakarta

Senin, 09 Februari 2015

Keistimewaan Abdurrahman bin 'Auf ra


Jika Rasulullah SAW pernah mengumumkan ada sepuluh sahabat yang dijanjikan bakal masuk surga, maka nama Abdurrahman bin ‘Auf termasuk di dalamnya. Nabi menyebut namanya di sela-sela nama para sahabat agung yang lain, tak terkecuali empat pengganti Rasulullah (al-khulafaur rasyidun).

Saat kabar atau hadits itu sampai di telinga Abdurrahman bin ‘Auf, dadanya tak latas membusung. Ia justru gemetar takut. Suasana batin semacam ini berlangsung terus-menerus hingga ia memberanikan diri menemui Rasulullah.

Abdurrahman bin ‘Auf sendiri adalah kerabat Nabi. Silsilah keturunan mereka berdua bertemu di generasi keenam ke atas, yakni Kilab bin Murrah. Namun demikian, kedekatan hubungan darah tak serta-merta mengurangi sikap takzim Abdurrahman kepada Sang Utusan Allah.

Abdurrahman bin ‘Auf masih terus terngiang  dengan perkataan Rasulullah ketika akan berjumpa dengan sumber ucapan itu.  Kerendahan hatinya lah yang membuat hatinya diliputi kecemasan lantaran kabar yang mengistimewakan dirinya di antara para sahabat ternama itu.

“Allah telah memberimu hutang yang indah, yang membebaskan kedua kakimu,” tutur Rasulullah sebagaimana tercatat dalam kitab At-Thabaqatul Kubra karya Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani.

Melalui Nabi, Jibril lantas memberinya pesan anjuran kepada Abdurrahman bin ‘Auf untuk senantiasa memuliakan tamu, memberi makan kaum miskin, dan membantu orang-orang yang butuh pertolongan. “Jika semua perbuatan ini dilakukan maka lunas lah hutang-hutang tersebut.”

Abdurrahman bin ‘Auf sejak awal terkenal sebagai orang yang super dermawan. Ia pernah menyedekahkan 700 rahilah, yang mayoritas untuk para faqir dan miskin. Rahilah adalah jenis unta tunggangan yang harganya lebih mahal dari unta biasa. Abdurrahman memberikannya beserta barang bawaan dan pelana berikut alasnya.

Di mata Rasulullah, Abdurrahman istimewa salah satunya karena kepedulian sahabat as-sabiqunal awwalun (golongan orang pertama masuk Islam) ini terhadap masyarakat lemah. Hatinya tetap lapang meski harta bendanya banyak didermakan untuk kepentingan itu.

Suatu kali Rasulullah pernah dari arah belakang mengalungkan serban dan menutupi kedua bahu Abdurrahman bin ‘Auf. “Inilah hamba yang shalih,” lisan Nabi yang lembut melontarkan pujian.

Abdurrahman bin ‘Auf merupakan orang dengan ketawadukan yang luar biasa. Karenanya, berita bahagia yang mengistimewakan dirinya pun direspon dengan rasa khawatir. Bukan tak percaya atau tak suka. Baginya, di hadapan Tuhan dirinya tak ada apa-apanya. Karakter ini seolah menjadi tamparan keras bagi orang atau kelompok yang merasa paling benar dan mulia meski tanpa jaminan surga.

Al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 32 hijriyah dan disemayamkan di Baqi’, Madinah, dekat dengan makam Rasulullah SAW.

Rabu, 04 Februari 2015

Meminta Tolong dan Menyampaikan Harapan Melalui Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya ada banyak hadits yang menerangkan bagaimana Rasulullah SAW meluluskan permohonan dan permintaan orang-orang yang memiliki hajat, serta bagaimana beliau membebaskan mereka dari kesulitan. Karena Rasulullah SAW adalah wasilah yang paling utama untuk memohon kepada Allah SWT, baik untuk menolak bencana maupun untuk tercapainya suatu hajat.

Tidak diragukan lagi bahwa Kiamat adalah suatu masa yang paling menakutkan dan mengerikan bagi seluruh manusia. Hari Kiamat adalah masa penantian yang seolah-olah tiada ujungnya. Pada masa itu panas yang memanggang di tengah kumpulan manusia bak pasir di lautan, sementara cucuran keringat menggenang melampaui leher.


Dalam keadaan seperti itu, seluruh manusia akan mencari hamba yang paling disayang Allah untuk menjadi perantara dalam memohon keringanan penderitaan yang sedang mereka alami, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:


“Ketika mereka mengalami penderitaan yang hebat itu, maka mereka pun memohon keselamatan kepada Allah dengan Nabi Adam (sebagai wasilah).”


Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menggunakan kata “istaghatsu” yang berarti memohon keselamatan. (Demikian redaksi yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari).


Para sahabat pun memohon pertolongan dan keselamatan kepada Allah dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah. Mereka juga meminta syafaat kepada beliau dan mengadukan banyak hal kepada beliau, seperti kemiskinan, penyakit, bencana, dililit hutang dan kelemahan fisik yang mereka alami. Bahkan mereka berlindung kepada beliau ketika menghadapi marabahaya dengan keyakinan bahwa pada hakikatnya beliau itu tidak lebih dari seorang perantara (wasilah) dalam mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, sedangkan pelaku yang sesungguhnya adalah Allah SWT.


Kisah Abu Hurairah ra

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam yang lain dari Abu Hurairah ra, bahwa pada suatu hari beliau mengadu kepada Rasulullah SAW tentang banyaknya hadits Rasulullah yang terlupakan olehnya, sehingga Abu Hurairah ra meminta agar dibebaskan dari penyakit lupa yang dialaminya.


Abu Hurairah ra berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku banyak mendengar sabda-sabdamu, tetapi aku sering lupa, maka aku ingin sekali untuk tidak lupa.”
Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Bentangkanlah surbanmu!”


Abu Hurairah pun membentangkan surbannya. Kemudian Rasulullah SAW meraup-raupkan tangannya ke udara di atas surban itu, kemudian bersabda, “Dekaplah!”
Maka Abu Hurairah mendekap surban itu dan menempelkannya ke dadanya. Dan berkata Abu Hurairah, “Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa lagi.”
Jika kita perhatikan hadits di atas, sebenarnya Abu Hurairah ra telah meminta kepada Rasulullah SAW sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, yakni menghilangkan sifat lupa. Lalu, mengapa Rasulullah tidak menolak dan menghukuminya sebagai perbuatan syirik? Jawabnya adalah karena beliau tahu bahwa permintaan seseorang kepada orang-orang yang dianggap memiliki keutamaan di sisi Allah bukanlah permintaan untuk menciptakan sesuatu, dan si pemohon tidak pula berkeyakinan bahwa mereka itu mampu menciptakan dan berbuat seperti Allah SWT.


Ia hanya bermaksud menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah), karena mereka memiliki keutamaan dan kekuasaan yang telah Allah berikan kepada mereka, baik dalam bentuk doa maupun kelebihan yang lain yang dikehendaki Allah.

Sebagaimana yang kita baca dalam hadits di atas, Nabi SAW dalam memenuhi permintaan Abu Hurairah, tidak disebutkan bahwa beliau mendoakan Abu Hurairah. Beliau hanya meraup-raupkan tangannya di udara kemudian menumpahkannya ke hamparan surban Abu Hurairah, dan memintanya supaya mendekap surban tersebut. Abu Hurairah ra kemudian mendekap surban itu ke dadanya, dan atas karunia Allah, apa yang dilakukan Nabi SAW itu menjadi sebab terkabulnya permohonan Abu Hurairah ra.


Kisah Qatadah ra

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Qatadah ra terkena anak panah di bagian matanya, yang menyebabkan bola matanya keluar dan menggantung di atas pipinya. Waktu itu para sahabat yang lain bermaksud hendak menolongnya, namun ditolak oleh Qatadah karena belum mendapat izin dari Rasulullah SAW.


Setelah Qatadah meminta izin kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak mengizinkan mereka membantu Qatadah. Justru Rasulullah SAW sendiri yang memegang bola mata Qatadah dan memasukkannya kembali ke tempat semula, sehingga sembuhlah mata Qatadah, bahkan lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baghawi, Abu Ya’la, al-Daruquthni, Ibnu Sahir dan al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail. Kisah ini juga dinukil oleh al-Imam Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah, juz 3 halaman 225, al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 4 halaman 297, dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Khashais al-Qubra.


Kisah Melenyapkan Bisul

Dari hadits Muhammad Ibnu Uqbah dari Syurahbil dari kakeknya Abdurrahman, dari bapaknya yang berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW karena bisul yang ada di telapak tanganku.
Aku berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, bisul ini telah menghalangiku dari bertempur di jalan Allah dan menyakitkanku ketika aku memegang kendali kuda.”
Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Mendekatlah kepadaku.”
Aku pun mendekat. Kemudian beliau membuka dan meniup telapak tanganku. Setelah itu beliau meletakkan tangannya di atas bisul itu sambil menepuk-nepuknya. Maka pada saat itu juga bisulku lenyap tanpa bekas.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan dinukil oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, juz 8 halaman 298.


Kisah Muadz ra
Di tengah berkecamuknya perang Badar, Muadz bin Amr bin al-Jamuh ra mendapatkan tebasan pedang di pundaknya dari Ikrimah bin Abu Jahal.
Kemudian Muadz bercerita, “Tebasan pedang itu memutuskan lenganku, namun masih tergantung di badanku karena ada sedikit kulit yang tidak putus. Maka kuselipkan lenganku itu di balik punggungku dan aku terus berperang di sepanjang hari itu. Akan tetapi lama kelamaan gerakanku menjadi terganggu karena keadaan lenganku itu. Maka kuhentakkan lengan itu hingga menjadi lepas dari tempatnya.”
Setelah itu, sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Qadhi Iyadh dari Ibnu Wahab dalam kitab al-Mawahib, Muadz membawa lengannya yang lepas itu kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian meletakkan tangan yang sudah lepas itu ke tempatnya semula dan meludahinya. Seketika itu juga lengan Muadz kembali tersambung seperti sedia kala.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Zarqani dan disandarkan kepada Ibnu Ishaq, dan di antaranya sanadnya terdapat al-Hakim.


Meminta Tolong kepada Nabi SAW untuk Menolak Bencana
 Ada banyak hadits yang menerangkan tawassul pada sahabat dengan Nabi SAW ketika mereka mengalam musim kemarau yang berkepanjangan. Dan di antaranya adalah sebagai berikut:
Suatu ketika, seorang Arab Badui memanggil-manggil Nabi SAW sewaktu beliau menyampaikan khutbah Jumat.
“Wahai Rasulullah, telah musnah harta benda kami karena kami tidak berdaya untuk mencegahnya. Maka berdoalah kepada Allah untuk kami, agar Dia menurunkan hujan,” kata Arab Badui itu.
Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan turun dari langit.
Pada hari Jumat berikutnya, Arab Badui itu datang lagi dan berkata, “Harta benda kami porak poranda, rumah kami roboh, hewan ternah kami mati disebabkan oleh derasnya air hujan, sedangkan kami tidak dapat berbuat apa-apa.”
Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan hanya turun di sekitar kota Madinah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Istisqa’, pada Bab “Permintaan Rakyat kepada Imam untuk Melaksanakan Shalat Istisqa’ ketika Terjadi Bencana Kekeringan.”
Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang baik dari Aisyah ra. Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dengan rangkaian sanad yang bersumber dari Anas ra, yang di dalamnya disebutkan bahwa Arab Badui setelah menyampaikan keluh kesahnya kemudian berkata, “Maka tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah. Dan hendak ke mana lagi manusia bergantung kecuali kepada Rasulullah?”
Riwayat mengenai hadits ini juga dapat dilihat dalam kitab Fath al-Bari, jilid 2 halaman 495.


Perhatikanlah bagaimana para sahabat secara majazi telah menisbatkan pertolongan dan manfaat kepada Rasulullah SAW. Demikian pula dengan orang Badui itu sewaktu ia mengatakan, “Tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah.” Namun Rasulullah SAW tidak memusyrikkannya, karena penisbatan kepada Nabi di sini tidaklah bersifat hakiki, melainkan idhafi (relatif).


Mungkin Anda bertanya, “Apakah tindakan Nabi SAW itu disebabkan beliau tidak mengerti firman Allah yang memerintahkan agar manusia hanya bergantung kepada Allah SWT?”


Jawabnya, tentu saja beliau mengerti akan ayat tersebut karena ia diturunkan kepada beliau. Namun ketahuilah bahwa makna hakiki dari tempat bergantung yang diharapkan dapat menolong dan memberi manfaat, hanyalah Allah SWT dan para Rasul-Nya, bukan yang lain selain Allah dan para Rasul-Nya itu.
Mengapa para Rasul itu dikatakan termasuk sebagai tempat bergantung? Karena mereka adalah kelompok pertama yang dapat dijadikan sebagai perantara (wasilah) kepada Allah SWT. Mereka juga merupakan kelompok yang doanya paling didengar oleh Allah dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan hajat umatnya.
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW begitu terkesan dengan ucapan si Arab Badui dalam kisah di atas, hingga beliau bersegera memenuhi harapannya dengan berdoa kepada Allah SWT. Beliau tidak lagi menunda harapan Arab Badui itu hingga Allah mengabulkannya.


Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. (J. Rinaldi)

Minggu, 11 Januari 2015

Pengertian Bid’ah Menurut Syara’


Sebelumnya di blog ini sudah dibahas pengertian bid'ah secara bahasa. Jika Anda belum membacanya, silakan baca di sini

Lalu, bagaiamana pengertian bid’ah menurut syara’? Sebelum pembahasan ini bergerak lebih jauh sampai ke sana, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa pengertian bid’ah menurut syari’at Islam tidaklah disebutkan baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Hal ini lumrah saja karena al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidaklah ditujukan untuk membuat pengertian/definisi atau ta’rif dari berbagai hal. Yang membuat pengertian bid’ah adalah para ulama setelah memperhatikan al-Qur’an, al-Hadits, Atsar para sahabat, dan lain-lain. Itulah sebabnya nanti kita akan temukan beragam pengertian bid’ah dari para ulama.
Secara umum dan sederhana bisa dikatakan bahwa bid’ah menurut syara’ adalah sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun untuk lebih jelasnya perihal ini mari kita simak penjelasan para ulama tentang bid’ah:
a. Al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah
Beliau adalah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i. Tatkala menjelaskan pengertian bid’ah, beliau berkata:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. [1]
Menurut pengertian yang diberikan oleh al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah ini, seluruh perbuatan atau amaliah keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik. Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu Mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amaliah baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.
Mari kita simak penjelasan al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah tentang pembagian bid’ah ini serta contoh-contoh yang beliau sampaikan:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ اِلَى: بِدْعَةٍِ وَاجِبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُحَرَّمَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَنْدُوْبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَكْرُوْهَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُبَاحَةٍِ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلاِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌُ 
Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Bid’ah terbagi lima: bid’ah wajibah (bid’ah wajib), bid’ah muharramah (bid’ah haram), bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah (bid’ah makruh), dan bid’ah mubahah (bid’ah mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu dengan membandingkan bid’ah pada kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah itu masuk ke dalam kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk ke dalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharramah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat, maka menjadi bid’ah mandubah. Dan apabila masuk ke dalam kaidah mubah, maka menjadi bid’ah mubahah.”
Saat memberikan contoh-contoh yang termasuk ke dalam lima macam bid’ah tersebut, beliau berkata:
وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌُ: اَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ وَاجِبٌ ِلأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ. الْمِثَالُ الثَّانِيْ: الْكَلاَمُ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا مَذْهَبُ اْلقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلاَءِ مٍنَ اْلبِدَعِ الْوَاجِبَةِ 
وَلِلْبِدَاعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ اِحْسَانٍِ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ. وَلِلْبِدَاعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامِ
Artinya: “Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu Nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu Nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah. Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya adalah shalat tarawih. Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi Mushhaf al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” [2]
b. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah
Beliau adalah seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Syafi’i yang telah menghasilkan banyak karya yang hingga saat ini masih dikaji di dunia Islam. Beliau memberi pengertian bid’ah sebagai berikut:
هِيَ إِحْدَاثُ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” [3]
Selain memberikan pengertian bid’ah, beliau pun menjelaskan bahwa bid’ah itu terbagi ke dalam dua bagian. Beliau berkata:
هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌُ إِلَى حَسَنَةٍِ وَقَبِيْحَةٍِ
Artinya: “Bid’ah terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”[4]


[1] Lihat: Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172.
[2] Penjelasan ini bisa dibaca dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133.
[3] Lihat: Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22.
[4] Lihat: Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22.

Jumat, 09 Januari 2015

Besok Malam! Dengarkan Live Streaming Majelis Sholawat dan Rotib Al Haddad dari Klaten


Klaten, Aswaja Center Klaten
Seolah enggan kalah dengan daerah lain, masyarakat Kabupaten Klaten pun menyiapkan beragam acara spesial di bulan Rabiul Awwal atau lazim dikenal dengan bulan Maulud. Salah satu acara dimaksud akan dilaksanakan di Gaten, Desa Mayungan, Kecamatan Ngawen, Klaten. 
Bertempat di serambi Masjid Ar Rohman masyarakat setempat akan menyelenggarakan pembacaan maulid yang diiringi grup Hadroh Misbahush Shudur. Anggota grup hadroh tersebut merupakan Remaja Masjid Ar Rohman.  Setelah pembacaan maulid, acara dilanjutkan dengan tausiah yang akan disampaikan oleh Ustadz John Rinaldi dan penampilan dari santri TPA Masjid Masjid Ar Rohman.  Berdasarkan keterangan panitia, acara akan dilaksanakan tanggal 10 Januari 2015 ba’da shalat Isya.

Selain dengan hadir di Gaten, Anda dapat menyimak majelis tersebut melalui live audio streaming di audio aswajacenter.  Acara juga rencananya akan direlay melalui radio Aswaja NU Magetan (RANUM) 96.6 FM.

Di waktu yang bersamaan, masyarakat Desa Jonggrangan menyiapkan majelis dzikir Rotib Al Haddad. Acara ini bertempat di Kantor PKB Klaten, belakang Pom Bensin Jonggrangan. Majelis ini akan dipimpin oleh KH.Sumarsam Abdullah Muntala dari karanganyar dan diramaikan oleh grup Hadrah Al-Husna dari Jonggrangan.  Berdasarkan penuturan panitia, majelis dzikir ini rencana akan menjadi agenda rutin.

Seperti majelis di Dusun Gaten, majelis Rotib Al Haddad di Desa Jonggrangan juga dapat Anda simak melalui chanel Ngaji Yuk. Apabila berhalangan, Anda juga dapat mengunduh kajian di dua majelis di atas dalam versi MP3 di link yang insyaallah akan di-upload oleh Tim Aswaja IT Developer melalui beberapa media. (Raden Pekik)
 
Sumber: muslimedianews.com

Selasa, 06 Januari 2015

Pengertian dan Asal Mula Kata "Tahlilan"


Dewasa ini sebagian orang ada yang merasa alergi ketika mendengar kata tahlilan. Setiap kata itu disebut di depannya, maka yang hadir di benaknya adalah bahwa itu perbuatan bid’ah yang haram untuk dilakukan. Ketika diminta untuk menyampaikan dalil pengharamannya, maka ia akan menjawab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya dan tahlilan merupakan ajaran agama Hindu yang diadopsi dan dimasukkan ke dalam Islam. Benarkah pendapat yang demikian itu? Untuk menjawabnya, mari kita simak uraian demi uraian di blog ini dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjernihkan hati kita sehingga kita bisa memahaminya dengan baik.

Kalau kita membuka kamus-kamus bahasa Arab, misalnya al-Mu’jam al-Wasith, al-Munawwir dan sebagainya, akan kita temukan bahwa tahlilan itu berasal dari kata dalam bahasa Arab, yakni: هَلَّلَ - يُهَلِّلُ - تَهْلِيلاًَ - أَيْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ yang artinya membaca kalimat tauhid laa ilaaha illallaah. Kalimat tauhid adalah kalimat persaksian yang menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala, dan ia termasuk ke dalam salah satu bentuk dzikir kepada Allah, bahkan dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai dzikir yang paling afdhal. 

Simaklah hadits berikut ini:

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Sebaik-baik dzikir adalah laa ilaaha illallaah” (HR Imam Tirmidzi dari Jabir bin Abdullah ra).


Selain berdasarkan pada hadits di atas kata tahlil juga termaktub pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya:

‏إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلاَئِكَةً ‏سَيَّارَةً ‏‏فُضُلاًَ ‏يَتَتَبَّعُوْنَ ‏مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوْا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوْا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي اْلأَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ


Artinya: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi memiliki sejumlah malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis dzikir tersebut, maka mereka terus duduk di situ dengan menyelimutkan sayap sesama mereka hingga memenuhi ruang antara mereka dan langit yang paling bawah. Apabila mejelis dzikir itu telah usai, maka mereka juga berpisah dan naik ke langit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan sabdanya, “Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala bertanya kepada mereka, Dzat Yang Maha Tahu tentang mereka, “Kalian datang dari mana?” Mereka menjawab, “Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu di bumi yang selalu bertasbih, bertakbir, bertahlil dan bertahmid…” (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah ra).

Perhatikanlah hadits di atas. Di dalamnya disebutkan kalimat wayuhalliluunaka (mereka bertahlil kepada-Mu), yakni mereka bersama-sama mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah. Dengan menyimak asal mula kata tahlilan yang berasal dari kata tahlil yakni mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, maka dapat dikatakan bahwa tahlil itu sudah dikenal dan sudah ada sejak Islam ada. Bahkan seseorang yang hendak menganut agama Islam, maka kalimat pertama yang harus diucapkannya adalah dua kalimat syahadat, yang satu di antaranya adalah kalimat tahlil. (Abiza)

Arti "Bid'ah" Secara Bahasa


Untuk memahami arti bid’ah secara bahasa, mari kita simak terlebih dahulu beberapa arti kata “bid’ah” yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab populer: 
  1. Dalam kamus al-Muhith, Juz III hal. 3 disebutkan bahwa bid’ah adalah:
 اَلاْمَرْ ُالَّذِيْ يَكُوْنُ أَوَّلاًَ (Sesuatu barang yang pertama adanya).
2.      Dalam kamus Mukhtarus Shihah, hal. 379 disebutkan bahwa bid’ah adalah:
 اِخْتَرَعَهُ لاَ عَلَى مِثَالٍِ (Mengadakan sesuatu tidak menurut contoh).
3.      Dalam kamus al-Mu’tamad, hal. 28 disebutkan bid’ah adalah:
 اِخْتَرَعَهُ وَاَنْشَأَهُ لاَ عَلَى مِثَالٍِ (Diciptakan tanpa contoh).
4.      Dalam kamus al-Munjid,hal. 27 disebutkan bid’ah adalah:
 مَاأُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍٍ (Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya).
Dari beberapa penjelasan kamus di atas, dapat dipahami bahwa bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.(Abiza)

Minggu, 04 Januari 2015

Mereka yang Berjasa Atas Diri Rasulullah Saw Saat Beliau Masih Kecil


Perjalanan hidup Nabi Muhammad sewaktu kanak-kanak tidak semanis buah kurma atau madu. Dalam Shahih Sirah Nabawiyah karya Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury diterangkan, saat dalam kandungan ibunya,  Aminah, Nabi sudah ditinggal ayahnya.

Ketika wafat ayah Nabi, Abdullah, meninggal dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Darun Nabighah al-Ja'dy. Abdullah meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan seorang budak wanita, Barakah berjuluk Ummu Aiman. Kelak dialah yang mengasuh Rasulullah. (Sahih Muslim/II/1392).

Rasulullah dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim, di Mekkah pada awal tahun ketika peristiwa penyerangan tentara Gajah terjadi. Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada Abdul Muthallib ayah Abdullah, kakek Rasulullah, untuk menyampaikan kabar gembira tersebut. Abdul Muthallib datang penuh kegembiraan. Lalu dia masuk ke dalam Ka'bah berdoa kepada Allah seraya bersyukur kepada-Nya. Kemudian dia memilih "Muhammad" untuk beliau.

Tsuwaibah
Satu di antara tradisi bangsa Arab saat itu adalah menyusukan anak-anaknya kepada wanita lain dengan tujuan menjauhkan anaknya dari penyakit-penyakit yang ada, dan juga agar jasmani anak kuat.

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibunya adalah Tsuwaibah, salah seorang hamba sahaya Abu Lahab, pada hari ketujuh kelahiran Rasulullah Saw. Sebelumnya, Tsuwaibah juga wanita yang menyusui Hamzah bin Abdul Muthallib, setelah itu Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

Halimah binti Abu Duaib
Tatkala mengajak Muhammad kecil ke Bani Sa'ad, Abdul Muthallib menyusukan beliau kepada salah seorang wanita dari bani Sa'ad nin bakar, yaitu Halimah binti Abu Duaib Abdullah bin al-Harits. Selain menyusui Rasulullah, Halimah juga menyusui Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib putra paman Rasulullah Saw.

Selama menyusui Muhammad kecil, keluarga Halimah terus-menerus mendapat keberkahan dan tambahan rezeki. Setelah dua tahun, ia pun menyapihnya dan beliau tumbuh dengan baik, memiliki tubuh yang kokoh dan kuat, tidak seperti anak-anak yang lainnya.

Kemudian Halimah  membawanya kepada Aminah, meskipun sebenarnya ia berharap Muhammad kecil dapat menerap bersamanya sebab betapa banyak keberkahan yang
bawakan oleh Rasulullah.

Meninggalnya Ibunda
Masih dalam keterangannya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, kejadian pembelahan dada yang dilakukan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah membuat Halimah khawatir sehingga dia mengembalikan kepada ibunya, maka Rasulullah Saw hidup bersama ibunya sampai berusia enam tahun.

Aminah merasa perlu untuk mengenang suaminya telah wafat, maka bersama putranya, yakni Muhammad disertai pembantu wanitanya Ummu Aiman, berziarah ke makam suaminya di Yatsrib yang jarahnya 500 km dari Mekah.

Setelah satu bulan di Madinah, yang masih bernama Yatsrib, Aminah kembali ke Mekah. Dalam permulaan perjalanan Aminah menderita sakit. Penyakitnya semakin parah hingga singgah di Abwa, sebuah kota antara Mekah dan Madinah. Di tanah Abwa ini ibunda Rasulullah Saw meninggal dunia.

Kembali ke Abdul Abdul Muthallib
Rasullullah kembali kepada kakeknya di Mekah. Abdul Muthallib merasakan kasih sayangnya kepada Muhammad semakin menebal. Menyaksikan cucunya yang yatim piatu harus menanggung kesedihan. Semakin besar kecintaannya, sampai-sampai dia pernah meraskan kecintaan seperti itu, bahkan terhadap anaknya sekalipun. Dia tidak ingin meninggalkan Rasulullah sebatang kara, bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya sendiri.

Abdul Muthallib meninggal pada saat Rasulullah berusia 8 tahun 2 bulan
10 hari, di kota Mekah. Sebelum wafat dia mengamanatkan pengasuhan cucunya kepada pamannya, yakni Abu Thalib, seorang dari saudara laki-laki ayahnya Rasulullah.

Di Bawah Asuhan Abu Thalib
Abu Thalib bin Abdul Muthallib melaksanakan hak anak saudaranya dengan penuh hati dan menganggapnya sebaga anak sendiri. Bahkan seperti halnya kakeknya, dia pun mendahulukan Rasulullah Saw daripada putra-putranya.

Syaikh Abdullah dalam Mukhtashar as-Sirah menyebutkan ketika usia Rasulullah Saw meningjak dua belas tahun, Abu Thalib mengajaknya melakukan perjalanan dagang ke kota Syam. Saat itu negeri Syam sedang berada di bawah kekuasaan Bangsa Romawi.

Hingga tiba di Bushra, sebuah daerah di negeri Syam, Abu Thalib beserta rombongannya ditemui Rahib yang dikenal dengan nama Buhaira (pendapat lain mengatakan namanya adalah Jurjis) dan mengajak masuk ke rumahnya. Dia mendatangi rombongan Abu Thalib karena melihat Rasulullah. Seraya memegang tangannya, ia berkata, "Laki-laki ini akan menjadi penghulu seluruh alam, dia adalah utusan Tuhan seru sekalian alam. Dia adalah laki-laki yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam."

Singkat cerita, usai mendengarkan pernyataan Buhaira yang diambil dari kitab dia baca, Abu Thalib atas permintaa Buhaira, lalu bergegas mengirimkan Rasulullah bersama beberapa pemuda agar kembali ke Mekah.

Sampai usia empat puluh tahun beliau berada di bawah perlindungan Abu Thalib. Pamannya rela menjalin persahabatan bahkan rela menghadapi musuh demi membela Nabi Muhammad Saw.

Demikian sebagian orang-orang yang berjasa dalam membesarkan dan mendampingi Rasulullah tatkala masih kecil yang sudah ditinggal wafat oleh ayah dan ibundanya. Semoga mereka semua mendapatkan limpahan rahmat dari Allah. Dan khususnya kita sebagai umatnya, dapat bertambah kecintaan kita kepada Rasulullah Saw dengan cara meneruskan perjuangannya dan mengamalkan ajarannya.

Taushiyah Maulid Nabi Saw Habib Jindan


Medan, Aswaja Center Klaten
NU Online mengabarkan: Habib Jindan bin Novel bin Jindan dari Jakarta menyampaikan taushiyah Maulid Nabi dalam acara istighosah yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Utara. Habib menjelaskan keteladaan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari serta keteladanan para ulama pewaris Nabi.

Istighosah telah terlaksana 30 Desember 2014 dalam rangka menyambut tahun baru 2015 dengan kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW di Kantor PWNU Sumut Jl. Sei Batanghari, Medan. Kegiatan ini diikuti lebih 200 jamaah yang berasal dari pengurus PWNU Sumut, warga NU di Medan sekitarnya dan jamaah majlis taklim Darusshofa Medan. Kegiatan dimulai dengan melaksanakan shalat maghrib berjamaah, tanya jawab keislaman, tausiyah maulid dan doa istighosah.

Habib Jindan bin Novel menjelaskan secara detail seluk beluk akhlak Nabi Muhammad sehari-hari sehingga para pendengar merasakan kehangatan dan kedekatan dengan sosok Nabi Muhammad sebagai suri tauladan yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Habib Jindan berpesan, bahwa setelah baginda Nabi Muhammad tiada maka panutan umat seharusnya adalah ulama sebagai warisatul anbiya (pewaris Nabi). Menurutnya, para ulama di mana pun dan kapan pun harus menjunjung tinggi ajaran Nabi Muhammad sehingga umat tidak sesat akibat adanya orang-orang yang pura-pura seperti para ulama yang tidak meneladani kehidupan Nabi Muhammad.

Sejalan dengan pesan Habib, dalam sambutan acara dari Wakil Rais PWNU Sumut KH Imron Hasibuan menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang didedikasikan oleh para ulama untuk umat sehingga para ulama senantiasa berkhidmat demi kebaikan umat.

“Tidak ada ulama yang menyesatkan umatnya dan selalu berusaha menunjukkan jalan kebaikan kepada umat dalam mengarungi kehidupannya di dunia, namun tidak saja berkaitan dengan urusan dunia, termasuk dalam urusan akhirat yang berkaitan dengan seluk beluk ibadah,” ungkap KH. Imron Hasibuan.

IA juga menegaskan bahwa NU sebagai organisasi para ulama dan sesuai dengan khittahnya tidak boleh digunakan sebagai sarana politik. “NU bukan organisasi politik, padahal politik sarat dengan kepentingan dan tujuan sesaat, makanya NU harus di atas politik, yaitu membawa nilai-nilai universal Islam dalam politik dan membawa kebaikan bagi semua manusia,” katanya.

Hadir dalam kegiatan ini Wakil Rais KH Abdul Baits Nasution yang juga Pimpinan Pesantren al-Ikhlas, Madina, para pengurus dari jajaran suriyah dan tanfidziyah, KH. Asnan Ritonga, KH. Abdul Hamid Ritonga, KH. Hamdan Yazid, H. Ali Jabbar Napitupulu, Abrar M. Dawud Faza, H. Mhd. Hatta Siregar, H. Adlin Damanik, H. Enda Mora Lubis, H. Khoiruddin Hutasuhut, Emir el Zuhdi Batubara, H. Sorimonang Rangkuti dan lainnya.

Wakil Rais KH Abdul Baits Nasution menyebutkan bahwa untuk tahun 2015 dan seterusnya PWNU Sumut sudah berbenah diri sebagai organisasi kemasyarakatan yang mandiri dan profesional, terbukti pada tahun politik 2013 dan 2014 PWNU Sumut dapat menunjukkan independensinya di tengah kancah politik yang sarat dengan kepentingan-kepentingan.

“Saya dan nahdliyyin-nahdliyyat Sumatera Utara dapat berbangga dengan izin Allah, selama tahun 2013 dan 2014 yang lalu tidak ada satu pun pesta politik yang membawa simbol atau identitas NU untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tentunya ini membanggakan dan meningkatkan martabat dan wibawa NU di tengah-tengah masyarakat kita,” ungkapnya.

Acara diakhiri dengan doa istighosah yang dipimpin Wakil Rais PWNU Sumut KH Hamdan Yazid untuk persatuan, perdamaian dan peningkatan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya disertai dengan permohonan ampun kepada Allah agar dosa-dosa yang ada diampunkan dan diberikan perlindungan-Nya dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.

Sabtu, 03 Januari 2015

Cara Membut Widget Label Tertentu dengan Satu Thumbnail


Pahamkah Anda yang dimaksud oleh judul tulisan ini? Kalau belum paham, silakan lihat gambar di bawah ini:


Nah, sekarang tentunya sudah paham. Apakah Anda ingin membuatnya di blog Anda? Apakah Anda sudah mengetahui cara membuatnya? Kalau belum tahu, berikut akan kami paparkan cara membuatnya. Silakan simak, semoga Anda bisa melakukannya sendiri di blog Anda.

1. Pertama yang mesti Anda lakukan adalah login ke blogger dengan akun Anda
2. Setelah itu pilih blog yang ingin anda tambahkan widget ini.
3. Masuk ke template >> Edit HTML, kemudian centang expand widget templates
4. Untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi kesalahan dalam pengeditan nantinya, backup dulu template Anda
5. Setelah semua langkah diatas anda lakukan, letakkan kode berikut ini di atas kode ]]></b:skin> :

img.label_thumb{float:left;border:1px solid #8f8f8f;background:#D2D0D0;margin-right:10px;height:60px;width:60px;padding:2px} img.label_thumb:hover{background:#f7f6f6}
.label_with_thumbs{float:left;width:100%;min-height:70px;margin:0 5px 2px 0}
ul.label_with_thumbs li{min-height:65px;margin:2px 0;padding:4px 0}

Perhatikan tulisan warna biru diatas, itu adalah lebar dan tinggi thumbnail image. 

6. Selanjutnya masih pada posisi Edit HTML, masukkan kode berikut ini diatas kode </head> :

<script src='http://yourjavascript.com/425111422721/label.js' type='text/javascript'/>

7. Setelah itu save templates, kemudian menuju ke layout pilih kotak yang akan ditambahkan widget ini. Klik add gadget >> HTML/Javascript masukkan kode berikut ini ke dalamnya :

<script type='text/javascript'>var numposts = 1;var showpostthumbnails = true;var displaymore = false;var displayseparator = false;var showcommentnum = false;var showpostdate = false;var showpostsummary = true;var numchars = 60;</script>

<script type="text/javascript" src="/feeds/posts/default/-/
news?orderby=updated&alt=json-in-script&callback=labelthumbs"></script>

<script type="text/javascript">
function recentpostslist(json) {
 document.write('<ul>');
 for (var i = 1; i < json.feed.entry.length; i++)
 {
    for (var j = 1; j < json.feed.entry[i].link.length; j++) {
      if (json.feed.entry[i].link[j].rel == 'alternate') {
        break;
      }
    }
var entryUrl = "'" + json.feed.entry[i].link[j].href + "'";//bs
var entryTitle = json.feed.entry[i].title.$t;
var item = "<li>" + "<a href="+ entryUrl + '" target="_blank">' + entryTitle + "</a> </li>";
 document.write(item);
 }
 document.write('</ul>');
 }
</script>
<script src="
http://aswajacenterklaten.blogspot.com/feeds/posts/summary/-/news?max-results=6&alt=json-in-script&callback=recentpostslist"></script>
<a href="
http://aswajacenterklaten.blogspot.com/search/label/news" style="float:right;font:normal 11px Arial;padding:5px 0;">More on this category &#187;</a>


Keterangan :
Warna biru : adalah label atau kategori yang ditampikan, Anda bisa menggantinya dengan label anda sesuaikan dengan kebutuhan.
Warna merah : Ganti URL dengan URL blog anda.

Selanjutnya save dan lihat hasilnya.

Tampilan dari widget ini mengikuti kode CSS sidebar (jika Anda meletakkan di sidebar) pada template yang Anda pakai. Kode CSS yang digunakan pada pembuatan widget ini hanya digunakan untuk mengatur tampilan thumbnail.

Demikian tadi tutorial mengenai membuat widget per label kali ini, jika masih ada yang kurang jelas silahkan tinggalkan pesan di kotak komentar, selamat mencoba dan semoga bermanfaat.
 

Mengenal Allah Swt


Ketahuilah, kewajiban yang pertama kali bagi setiap orang mukallaf adalah mengenal Allah, Yang menciptakannya dari tidak ada menjadi ada. Ia diciptakan oleh-Nya semata-mata untuk beribadah. Mengenal pada mulanya memerlukan mengetahui yang disembah, yakni mengetahui Dzat, sifat dan perbuatan-Nya menurut cara yang terpuji.

Allah Swt berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Adz Dzariyat: 56)

Cara Mengenal Allah

Ada dua cara yang bisa kita gunakan untuk mengenal Allah Swt:
Pertama, dengan cara mendengar dan mengutip, artinya mendengar apa yang telah diberitakan oleh Allah Swt tentang nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang sempurna di dalam kitab-kitab suci-Nya dan melalui lisan-lisan para rasul-Nya. Dia berfirman:

"Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang menciptakan, yang membentuk rupa, yang mempunya Asmaul Husna, bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al Hasyr: 22-24)

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah memiliki 99 asma, barangsiapa menghafal semuanya akan dimasukkan ke dalam surga... (kemudian beliau menyebutkan nama-nama Allah/Asmaul Husna)."

Kedua, dengan akal, maksudnya memfungsikan akal pikiran untuk merenungkan tentang alam raya (makhluk) ini dan mengambil pelajaran dari semua kejadian, kemudian menjadikan semua itu sebagai dalil atau bukti Yang Maha Menciptakannya, yang tiada lain adalah Allah Swt, tiada Tuhan kecuali Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Allah Swt berfirman:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang telah diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dari pengisaran angin dan awan yang telah dikendalikan antara langit dan bumi sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. al Baqarah: 164)